#19 - That Accident

22 4 1
                                    

Ketika bel pulang berdering, Adnan mendadak jadi orang yang super sibuk. Dari tadi dia sudah ditelpon entah oleh siapa. Sepertinya tidak mungkin dari perempuan, soalnya Adnan itu terkena kutukan jomlo abadi. Karena dari dulu sampai sekarang, ia tak pernah berhasil menjadikan cewek yang ia sukai menjadi pacarnya. Kasihan.

"Gue pulang duluan, ya!" seru Adnan sambil mencangklongkan tas di pundak.

"Mau ke mana?" tanya Raka heran. "Buru-buru amat. Tumben."

"Dua karyawan Bang Reno nggak masuk, ditambah Bang Reno mau pergi sore ini.Kata Bang Chiko dia agak kerepotan," jelas Adnan terburu-buru. Setelahnya ia langsung melesat keluar kelas, meninggalkan Raka yang tengah berkutat membereskan peralatan sekolahnya.

Setelah Raka selesai dengan urusannya, pemuda itu pun keluar dari kelas. Sesampainya di depan tangga, ia tak sengaja melihat sosok Wildan yang tengah berjalan mendekat. Mendadak Raka menghentikan langkah dan bersembunyi di sebuah kelas yang pintunya terbuka sebelum Wildan melihatnya.

Dalam pikirannya kini berkelebat berbagai macam pertanyaan yang ingin lontarkan kepada lelaki itu. Ia ingin sekali mendengar alasan kenapa Wildan waktu itu tiba-tiba menghilang tanpa meluruskan kesalahpahaman yang terjadi antara dirinya dan Suri terlebih dulu. Namun kemudian, Raka sadar kalau di sini posisinya bukan siapa-siapa. Ia tak ingin ikut campur lebih jauh, meski keinginan untuk melindungi Suri begitu besar.

Di sudut hatinya yang terdalam, Raka juga sejujurnya ingin meminta maaf karena dulu telah memukul Wildan, tetapi ia bingung bagaimana caranya ia memulai pembicaraan. Apakah dia harus memulai dengan say hi, lalu dilanjut dengan menanyakan kabar? Ugh ... nanti pasti jatuhnya jadi canggung.

Atau ... mungkindia bisa langsung melemparkan lawakan receh seperti dulu? Ah, tidak, tidak. Wildan sekarang adalah guru di sekolahnya. Rasanya sangat tak pantas jika tiba-tiba ia melemparkan guyongaring pada gurunya itu.

Setelah beberapa saat berpikir, pada akhirnya Raka tak jadi menyapa Wildan karena lelaki itu sudah lebih dulu menghilang. Raka pun menarik napas panjang. Ah, ya sudahlah, semoga saja semuanya membaik seiring waktu berjalan.

.

.

.

Sinta menatap ponselnya bimbang. Haruskah ia membalas pesan-pesan Raka sekarang? Sesungguhnya ia masih belum memiliki cukup keberanian. Bagaimana kalau Raka tak bisa menerima alasannya? Bagaimana kalau Raka menganggapnya orang aneh? Bagaima kalau setelah itu Raka menjauhinya. Atau bahkan malah membencinya? Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat. Memikirkan kemungkinan-kemungkinan itu membuat dadanya sesak dan perutnya mual.

"Yu, minum dulu tehnya," perintah Indra sambil meletakkan secangkir teh herbal untuk Sinta di meja.

"Terima kasih." Sinta tersenyum, lalu mengambil cangkir itu dan menghirup isinya sedikit demi sedikit. Dari sudut matanya ia bisa menyaksikan sepupunya sibuk mondar-mandir menyiapkan lembaran berkas yang entah apa isinya. "Mas, mau ke mana?" tanyanya sambil meletakkan kembali cangkir bekas minumnya ke meja.

Indra yang tengah merapikan tasnya pun menoleh. "Ah, Mas mau ke tempat temen. Mau lihat lokasi."

"Mas beneran jadi buka usaha di sini?" Sinta terkejut, tapi kemudian raut wajahnya berubah sumringah.

Indra tersenyum kecil. "Ya, jadi, dong! Biar mas nggak perlu repot-repot lagi bolak-balik Jakarta-Surabaya. Lagian sebentar lagi kontrak Mas di sana habis," jelasnya semangat.

"Ya, udah. Ayu doain semoga usahanya lancar dan sukses, ya."

Indra mengangguk mengamini. "Ah, ya. Kamu mau ikut mas lihat lokasinya, nggak?"

Two RegretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang