24 🌻🌻 Pendekatan dan Huru-hara

Start from the beginning
                                    

Kok kamu nggak bilang sama mas sih, Di? Kok nggak bilang kalau perutnya sakit?

Dinara masih ingat bagaimana matanya yang putus asa saat menanyakan hal itu sementara urat-urat di lehernya menegang. Arya mengatakannya dengan nada yang lembut, saat sebenarnya dia ingin sekali berteriak ke hadapan Dinara. Itu membuatnya merasa terluka, melihat Arya sebenarnya ingin menjauh tapi mereka terpaksa saling menjaga karena saat di Lombok tidak ada lagi siapa-siapa.

Melihat Arya tidur sambil memunggunginya, dan segera mengulas senyum ketika Dinara memanggil untuk minta bantuan, hatinya sakit. Dia sudah melukai Arya sebanyak itu karena kurangnya kedekatan di antara mereka. Sebab ikatan keduanya tidak begitu erat seperti pasangan kebanyakan. Dinara sudah melukai Arya tanpa sengaja.

“Mbak, ada tamu.”

Dinara buru-buru menutup laptopnya lagi ketika suara pintu kamar dibuka bersamaan dengan Danish yang lagi-lagi menginterupsinya. Adik lelakinya itu masuk dengan seorang gadis yang... ya ampun, cobaan macam apa lagi ini? Apakah mendorong seseorang yang memiliki masalah kesehatan mental alias sakit jiwa dari gedung ini diperbolehkan oleh negara mereka?

“Katanya adik mas Arya,” sambung Danish lagi setelah tamu yang dimaksud sampai di depan hidungnya.

“Pramudya,” ucap Dinara kali pertama matanya bertatapan dengan gadis itu. Orang yang beberapa hari lalu entah kerasukan apa dan mengerjainya perihal kemunculan Diana. “Ada apa ke sini?”

“Mau minta maaf, Mbak.”

Danish menaikkan kedua alis. “Aku keluar dulu kalau gitu,” ujarnya pengertian. “Mau diambilin sesuatu? Minuman mungkin?”

“Dia bisa ambil sendiri,” sahut Dinara ketus, sama sekali tidak senang melihat adiknya akan melakukan hal-hal baik pada gadis ini. Jangan sampai Pramudya berpikir kalau Danish membuka hati, jelas pemuda itu akan bersama Sayna sampai akhir. “Cepet bilang.”

Pramudya menolehkan kepala, matanya mengikuti langkah Danish yang bergerak keluar dari kamar kakaknya, baru setelah itu dia kembali berhadapan dengan si empunya rumah. Kelihatan sekali niatnya datang ke sini tidak sungguh-sungguh, dia cuma ingin melihat Danish, Dinara tahu itu. Untung saja Danish punya ingatan seperti ikan yang mungkin tidak mengenali Pramudya sama sekali meski sudah bertemu beberapa kali.

“Minta maaf buat yang waktu itu, Mbak. Saya ndak tahu kalau hal itu bikin mbak Di sampai kepikiran dan sakit begini. Ibuk ndak tahu, kalau tahu pasti saya diusir dari rumah, disuruh pulang ke Cirebon, ke tempat bapak saya.”

Sebenarnya hal itu bukan faktor kenapa Dinara mengalami pendarahan beberapa hari yang lalu. Selain implantasi alias penempelan janin ke rahim—tanda kehamilan benar-benar siap dimulai, dia hanya murni kelelahan. Namun membiarkan adik angkatnya Arya lolos begitu saja juga tidak boleh dibiarkan, dia memang perlu diberi pelajaran.

“Saya nyesel, Mbak.” Pramudya menyambung kalimatnya mendapati Dinara tidak memberi jawaban apa-apa. Kepala gadis itu tertunduk, kelihatan seperti anak baik-baik, padahal aslinya dia itu jelmaan kuntilanak.

“Emang tolol banget sih kamu waktu itu,” ujar Dinara pelan. Matanya menatap Pramudya tajam, sampai gadis itu segera menunduk lagi saat mereka berpapasan. “Kamu nggak bisa cari topik bercanda yang lain? Kamu tahu kan saya lagi hamil?”

“Maaf, Mbak Di.” Wajahnya makin tertunduk, dan Dinara ingin sekali bangkit untuk memeriksa apakah ada paku di kepala gadis itu. “Saya janji ndak akan begitu lagi.”

“Oke. Sekarang kamu balik lagi ke Surabaya.”

“Tapi, Mbak—”

“Pulang. Kamu tahu dekat-dekat kamu saya bisa stres. Kamu mau saya aduin ke ibu? Iya?”

DINARA [Tersedia Di Gramedia] ✔Where stories live. Discover now