24 🌻🌻 Pendekatan dan Huru-hara

Start from the beginning
                                    

Dinara : Hai, girls. Maaf tadi ada iklan sebentar, jadi kerjaan saya ada yang handle, ya? Boleh cek dulu, nggak? Saya udah stand by kerja kok.

Yanti : Mbak Dinara! Apa kabar?

Yeni : Telat. Udah dari pagi mbak Dinar nongol. Kerjaan ada di Yanti, Mbak. Nanti di-forward. Mbak beneran udah nggak apa-apa?

Dinara : Masih bed rest, tapi udah nggak apa-apa. Saya bisa kerja sambil rebahan.

Yanti : Ya ampun, Mbak. Mending jangan dulu lah, biar kita yang bantu.

Dinara : Tapi gajinya tetep masuk ke saya, ya? Hehe. Ayo Yanti, saya tunggu kirimannya.

Yeni : Mbak belum jawab. Kenapa? Kehamilannya bermasalah, terus suami Mbak Dinar kenapa?

Dinara : Nggak apa-apa. Saya cuma harus istirahat, tadi suami saya mergokin saya buka laptop terus ngomel, makanya saya tutup lagi. Tapi sekarang beliau udah berangkat kerja kok.

Yanti : Nggak boleh kerja ya mbak sama suaminya?

Dinara : Awalnya nggak boleh, jadi boleh dengan beberapa syarat. Sekarang lagi begini disuruh berhenti.

Yeni : Ya ampun, ribet ya nikah tuh.

Dinara : Nggak ribet kok, Yen. Cuma harus ada calon, wali, saksi dan mas kawin. Hehe.

Yanti : Betul tuh mbak Dinar. Nggak ribet sebenarnya.

Yeni : Bukan itu lho konteksnya. Ini lebih ke persiapan batin. Kan gue pribadi nih mikirnya, ngapain nikah? Sendirian aja udah cukup bahagia kok. Tapi ternyata itu tujuannya, bahagia sama diri sendiri dulu biar kelak nggak menuntut terlalu dibahagiakan sama pasangan. Pas ketemu sama dia, kita udah sama-sama utuh.

Yanti : Bener juga sih. Menurut gue menikah itu sejatinya menemukan orang yang bikin hidup kita lebih bahagia. Bukan melengkapi kebahagiaan karena kurang bahagia saat masih sendirian.

Yeni : Nah, jadi tahu kenapa gue masih sendiri sampai sekarang? Karena gue belum cukup bahagia.

Yanti : Bahasan kita pagi ini berbobot banget kayak bokongnya Kim Kardashian.

Dinara merasa ditampar bolak-balik membaca percakapan dua orang lajang di ruang mengobrolnya itu. Beberapa kalimat yang dilontarkan Yeni dan Yanti begitu menohok hingga ke relung hati, semuanya terasa benar sekali. Mereka adalah wanita pintar dengan prinsip dan pemikiran luar biasa, sayang sekali Dinara terlambat mengenal keduanya.

Semua yang dikatakan Yeni dan Yanti sangat tepat untuk keadaannya tiga bulan lalu, tapi saat ini, dengan kondisi menyedihkan, bergulung dalam selimut sambil mengerjakan proses tender, bersama seseorang dalam perutnya, membuat Dinara tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

Dia menikah dengan Arya dalam keadaan terluka parah—mereka sama-sama terluka, sama-sama patah, sakit, rapuh dan berharap segera sembuh. Berharap dibahagiakan. Berharap, pernikahan ini adalah salah satu cara bagaimana keduanya sama-sama menyembuhkan setelah saling menemukan. Padahal semuanya tidak benar, atau justru sudah benar?

Lalu apa yang terjadi akhir-akhir ini? Keputusan Dinara untuk memaklumi dan mengerti serta memposisikan diri sebagai orang baru di hidup Arya justru membuat suaminya murka. Jelas sekali Arya marah padanya. Mengetahui Dinara pendarahan hingga harus istirahat total dan menerima perawatan, Arya luar biasa kesal. Hanya saja dia sudah dewasa, Arya lebih memilih untuk diam dan meredamnya sendirian, dia baru datang mendekat saat keadaannya sendiri jauh lebih tenang, tidak membiarkan dirinya meledak-ledak.

DINARA [Tersedia Di Gramedia] ✔Where stories live. Discover now