16. Supernova

30 15 0
                                    

     Arel tak bisa berkutit menghadapi situasinya sekarang, antara menghindari troma masa kecil yang dia alami atau berjuang membalas budi terhadap wanita yang menyelamatkannya dulu yaitu Sarah skynear Ibunya Kaltus.
     "Maafkan aku Bu, sekuat apapun aku melawan rasa takutku tapi tetap saja ia akan menghampiriku kembali." Tangis Arel melihat foto Bu Sarah dengan bukti otopsi yang telah ia kerjakan selama ini.
    
     "Huss huss... tenanglah ada aku di sini. Dia sudah pergi, aku sudah memukulnya. Ibu mengenali pria itu, dia tetangga Ibu nanti akan Ibu laporkan dia ke polisi." ujar Bu Sarah memeluk Arel erat. "Begitulah cara kamu menenangkanku, aku tidak akan pernah melupakan itu." Gumam Arel dalam tangisannya.
     "Sekarang kamu sudah tiada dan Paman itu akan menyakitiku kembali!" Teriak Arel yang begitu ketakutan,
     
     Karena Arel yang tak bisa aku temui di rumahnya, jadi aku pergi ke kantornya dan menyusuri lorong kantor pusat forensic jam 1 dini hari untuk membujuk Arel agar mau membantuku kembali, di tengah lorong aku mendengar tangisan lirih seorang wanita di ruangan Arel.

      "Tolonglah aku, bagaimana aku bisa bertahan Bu?" Tangis Arel memegang pisau kecil yang ingin menyayat lengannya. Tak lama berselang tiba-tiba seseorang membuang pisau yang digenggam Arel dan memeluknya erat.
      "Tenanglah Dokter Arel, kamu bisa melalui ini semua. Aku akan membantumu." ujarku memeluk Arel  yang terduduk di lantai ruangannya dikelilingi berkas dokumen korban yang berserakan, sungguh aku tak ingin kehilangan lagi.
      "Katulistiwa maafkan aku, maafkan aku." Tangis Arel mengucapkan itu berulang-ulang dalam pelukku.
     "Tidak apa-apa Arel, tidak apa..." Balasku menepuk-nepuk punggungnya.

*****

     Pukul lima pagi di kediamannya, Tero terbangun akan bunyi berisik yang berasal dari dapur apartemennya. Saat menyusuri dapur, "Ibu bunyi berisik apa tadi?" Tanya Tero yang mengucek-ngucek mata.
      "Tadi Ibu menjatuhkan teflon saat masak." Jawab Ibu tero gugup.
      "Apa kamu baik-baik saja? Hati-hati Bu, itu akan membahayakanmu." Balas Tero khawatir.
     "Iyaa, aku baik-baik saja. Sekarang mandilah nanti telat kerjanya, ibu masak sarapan kamu dulu." Suruh Ibu tero sembari memasak.
      "Baiklah Bu."

     Saat Tero meninggalkan dapur untuk menuju kamar mandi,
     "Hampir saja, awas kau melalukan hal ceroboh lagi. Aku akan membunuh mu!" ujar lirih Bibi Luna pada Ayah tero.
     "Ya tenanglah, heh bagaimana aku teriak sekarang? Ini akan menarik." Tawa kecil Ayah tero mengancam Bibi  Luna.
     "Bajing*n kau, tutup mulutmu itu." Ancam Bibi Luna yang memegang pisau dapur.
     "Hoo tenanglah, aku tidak akan melakukannya asalkan kamu membolehkanku bersembunyi di sini lebih lama." Senyum Ayah tero menatap mata Bibi Luna.

*****

     "Ibu ternyata kamu lah yang menyelamatkan Arel, kenapa kamu selalu menyembunyikan kebaikanmu dariku? Haruskah aku mengetahuinya dari orang lain, bahkan aku tak tahu kamu selalu menyumbat telingaku saat aku tertidur. Aku mengetahuinya dari Bibi Luna, kamu sulit mengontrol diri ketika mabuk. Aku berfikir semua yang kamu katakan saat mabuk adalah isi hatimu ternyata aku salah, semua yang kamu katakan adalah hal yang kamu takutkan." Cairan bening mengukir wajahku melihat surat kematian itu.
     "Aku mendengar isi hatimu ketika kamu berkata tidak saat aku bertanya, apakah ibu menyayangiku? Aku berusaha mendengarnya jelas saat ibu tersadar. Awalnya aku terkejut tapi aku menyangkalnya dan berfikir kalah aku salah mendengarnya karena ibu sering mabuk."
     Berusaha bangkit saat aku harus pergi bekerja, aku tak ingin orang lain menjadi tumbal dari kesedihanku, di sini aku bisa belajar untuk dewasa menghadapi kesulitanku. Ketika belajar dalam derita.
    

    

    
    

matahari tengah malam Where stories live. Discover now