03. First Meet

100 43 6
                                    

Tanganku masi mengankat badannya, aku  mencoba mengambil telepon gengam yang ada di saku celanaku untuk menelpon ambulan, membutuhkan waktu 20 menit untuk sampai karena hujan lebat.

Mendengar hal itu seakan-akan masa depan yang buruk menampakkan wujudnya di hadapanku, bahkan aku tidak bisa lagi merasakan luka yang ada ditubuhku, raungan hujan badai disertai kilat itu seakan mewakili perasaanku.

*****

"Apakah ini mimpi buruk ku lagi? Ya ini hanya mimpi, bangunlah kalau tidak kau akan telat ke sekolah. kumohon bangun lahh." Tangisku sambil menampar-nampar wajah.

Tidak lama berselang datang seorang pria berprawakan tinggi menghampiriku, "Permisi apakah ini dengan saudara katulistiwa?" ujar pria itu.

"ha??" Balasku tak sadar melamun cukup lama,"ohh,,ya dengan saya sendiri." suara serak di tenggorokan menghiasi.

"Kami dari kepolisian menemukan surat dikamar korban sepertinya ini untuk anda." Sambil menyondorkan surat di dalam amplop kecil lusuh kepada ku.

Dengan tangan bergetar aku menerima surat itu dan membaca pesan surat itu yang ternyata adalah pesan terakhir ibu untukku yang tertulis,,

Dengan tangan bergetar aku menerima surat itu dan membaca pesan surat itu yang ternyata adalah pesan terakhir ibu untukku yang tertulis,,

Oops! Questa immagine non segue le nostre linee guida sui contenuti. Per continuare la pubblicazione, provare a rimuoverlo o caricare un altro.

Air mata yang tak hentinya membasahi wajahku berharap suatu saat nanti aku bisa menemukan lelaki yang dimaksudkan ibu dalam surat itu. Saat itulah kehidupanku benar-benar dimulai mencari tahu dan bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi.

"Ibu menyuruhku untuk tetap bahagia, bagaiman bisa aku bahagia sekarang bu? Sampai sekarang aku tidak mengetahui siapa ayah ku, dulu ibu hanya mengatakan kalau ayah sudah tiada tapi aku tahu ibu berbohong, dengan kebiasaan minummu aku tidak bisa mengetahui fikiranmu yang begitu tidak jelas meskipun kamu sudah sadar." Tangisan aku lontarkan di depan foto ibu yang aku pegang diatas kursi tunggu rumah sakit.

"Untuk mu rasa sakit, aku mohon janganlah terlalu kejam." Tanganku yang langsung memeluk foto ibu.

Tidak lama setelah itu teman-teman kelasku datang mengunjungiku di rumah sakit, saat itu tenaga medis masi melakukan otopsi yang kemudian mengkremasi jenazah ibuku.

"Kaltus kami ikut sedih mendengar berita duka ibumu semoga ia bisa mendapatkan tempat yang lebih indah disana" ujar salah satu dari teman kelasku.

Aku hanya bisa terdiam dan berharap ibu benar-benar mendapatkan tempat yang lebih baik, seperti yang kita tahu bunuh diri bukanlah hal yang baik. Jadi aku tahu bahwa ia hanya ingin menghiburku, sudah dua jam berlalu semua temanku sudah pergi tetapi Tero masi menunggu di sampingku.

"Heiii sudahlah, kamu adalah temanku yang kuat aku yakin ada maksud tuhan dari semua ini, karena ia memberikan ujian berdasarkan kesanggupan kita, bersabarlah kaltus pelangi itu datang setelah hujan." ujar Tero yang berharap bisa menghiburku dengan memelukku erat.

"Dia hanya salah menilaiku karena aku bukanlah sekuat itu, selama ini aku masi bisa berdiri karena impian yang aku miliki yaitu membuat ibu bahagia lagi dan melupakan semua masa lalunya, bahkan ia tidak tahu kalau mimpiku adalah dia, sekarang aku kehilangan dia tidak ada lagi tujuan aku hidup, jika kamu hanya ingin menghiburku berhentilah karena kamu tidak akan bisa." Balasku dengan tegas mendorong badan Tero yang memelukku.

matahari tengah malam Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora