02. Mimpi Buruk

199 61 7
                                    

Ting! Ting! Ting! Suara pukulan botol bir "Haah kamu fikir aku tidak tahu apa yang mengganggu mu?" Ujarnya.

"Ya tuhan aku tidak bisa tidur, iyaa buu aku pergi dulu." Dengan tubuh yang lelah aku berusaha tetap bangkit.

Keesokanya

"ibu sudah bangun?" aku sudah menyiapkan sarapan di meja makanlah dulu sebelum ibu pergi kerja." ujarku sambil menggenggam erat sendok ditanganku berharap kalau ibu mau memakan masakannya.

"Tidak, aku akan makan diluar kau habiskan saja makananya." Sambil mengambil tas kerja yang biasanya ia taruh di kursi dapur lalu pergi begitu saja.

Memang berat tapi aku masih memiliki harapan yang membuatku tetap bertahan. Tepat pukul 7 pagi aku pergi ke sekolah dengan kebiasaanku memakai headset yang membantuku untuk mengurangi pendengaranku selama diperjalanan, selain dirumah sekolah juga merupakan mimpi buruk karna aku bukanlah sosialis yang baik, aku dijauhi karna aku bisa mendengarkan pikiran mereka melalui kebohongan selama mereka masi mengatakannya, tetapi akan sulit ketika mereka mabuk karena fikiran mereka yang tidak menentu.

"Hei anak aneh tidak adil bukan disaat kamu bisa mendengarkan pikiran kita sedangkan kita tidak tahu apa yang kamu pikirkan." Ujar reno dengan wajah yang mendongak ke atas meletakkan kaki kanannya di paha ku.

"Kamu ngapain?" ujarku yang terheran-heran dan mendorong kakinya jatuh kebawah.

"Gak ada angin gak ada hujan tau-tau datang aja nerobos-robos." Ujar Tero yang menyindir dengan kebisaan melipat kedua kakinya.

Tero merupakan teman dekatku yang juga merupakan sosialis yang buruk karena ke idealisannya dalam menilai orang dengan otak besarnya itu, ia merupakan anak dengan IQ teringgi di sekolahku.

"Kalian sok-sok bego atau emang bego sih, udah jelaskan kan aku ngomongnya." Balas Reno sambil meludah di hadapan aku dan Tero.

"Sorry aku gak paham apa yang kamu katakan suwewer dahh." Balasku dan Tero tertawa terbahak-bahak, dengan melihat wajah jengkel Reno merupakan hiburan bagiku dan Tero.

"Sudah lah gak usah banyak bacot, kamu dapat kemampuan dari mana sih? Dari dukun atau ngasih sesajen tiap malam." Sahut Reno dan teman-temanya membalas tawaan aku dan Tero.

"Kalau kamu cuman iri, pergi aja sana." ujarku sambil menatap mata Reno.

"Ya nggak lah aku tau kamu kan cuman anak buangan, gak pantas aja kalau kamu punya kemampuan seperti itu dengan jalan singkat, kau tahu itu tidak adil dan Kotor." lagi-lagi ucapan menyindir yang mereka tekankan padaku sambil memperbaiki gaya rambutnya.

"Tau dari mana kamu kaltus punya kemampuan itu datangnya dari dukun? jangan mikir yang nggak-nggak deh" ujar Tero yang mulai beridiri menghadang Reno dan teman-temannya.

"Benar yang mereka katakana kalian berdua memang aneh." Balas Reno dengan senyuman tipis dan melihat kearah kerumunan di luar kelas yang melihat mereka berdebat.

"Yang aneh itu kamu, zaman sekarang masi aja mikir kayak gitu." Balasku yang tidak tahan lagi dengan perlakuan mereka dengan mengancungkan jari telunjuk tepat di depan wajah reno yang mulai gugup.

"Memang tidak ada gunanya kalau ngomong sama kalian." Dengan muka masam diiringi langkah kaki yang menjauhi mereka berdua.

"Memang pengecut itu orang." ujar Tero dengan memiringkan senyumannya.

Mereka keluar dari kelas dan menendang salah satu kursi yang ada dikelasku. Jam istirahat habis aku dan Tero duduk kembali ke kursi untuk mengikuti pembelajaran selanjutnya.

Saat jam pulang sekolah

"Kamu lihat headset aku tidak?" ujar ku panik sambil merogoh saku celana.

"Coba kamu periksa di tas kamu." Balas Tero sambil memasukan buku dan peralatan tulis ke dalam tasnya.

"Sudah aku lihat tapi memang tidak ada, aduh gimana ini." Sambil memegang kepala.

Seketika teleponku berbunyi, "Kalau mau headset kamu kembali, temuin aku di dekat dermaga." Begitu pesan yang aku dapati.

"Kurang ajar dia lagi, kamu duluan aja aku mau temuin dia dulu." Sahutku pada Tero, tak habis fikir bagaimana bisa mereka mengambil headset dariku.

"Benar ni gak apa? Bentar lagi kamu kan mau masuk kelas silat, emangnya kamu mau bolos nanti kena hukum lagi sama Pak Teguh lagian kamu mau ikut kejuaraan kan?" balas Tero untuk mengingatkan ku.

"Iya bagaimana lagi tanpa headsetku nanti aku juga tidak bisa fokus sama silatnya, sudah cukup aku tidak akan membiarkan mereka lagi." Geram menyelimutiku, berharap bisa memberikan pelajaran kepada Reno. Tanpa sadar aku memukul meja dengan keras sehingga semua orang melihat kearahku.

"Oke hati-hati, kamu jangan ceroboh." Balas Tero berharap aku tidak melakukan hal bodoh.

"Kamukan tau aku, jadi tenang aja." Balasku untuk meyakinkan Tero.

Sesampai di dermaga aku menunggu Reno yang tak kunjung datang, sudah 30 menit berlalu mereka masi belum menampakan kepala mereka.

"Udah stengah lima, dimana dia?" Gumamku dengan khawatir jika mereka hanya menipuku.

     15 menit berlalu barulah mereka datang kemudian tiba-tiba mereka langsung nyerangku, aku yang terkejut mencoba untuk melawan tapi apalah daya ku yang cuman sendirian sedangkan mereka berlima. Mereka memukulku tanpa ampun serta membuang headsetku ke dermaga, tak lama setelah itu mereka pergi disusuli hujan deras membasahi lukaku seakan ingin mengulitiku.

     Sesampai di rumah aku mengganti pakaian dan mencoba mengobati luka ku, saat itu terpikir olehku bahwa ibu pasti belum makan, aku pergi kedapur untuk membawa makanan ke kamarnya.

    Di kamar aku sulit membuka pintu karna tanganku yang membawa makanan dan segelas susu jadi aku mendorong pintu dengan kaki, hujan lebat yang membuatku sulit untuk mendengar serta melihat saat aku masuk kamar ibu yang begitu gelap dan aku tidak bisa lihat apa-apa, datang kilat yang begitu terang sontak aku melihat badan ibu yang menggelantung, tanganku menjatuhkan semua makanannya aku berlari kearah ibu mencoba untuk mengangkat badan ibu ke atas karna tali yang melilit lehernya.

"Ibuuu tidaak, kenapaa ibuu sadarlahh jangan lakukan ini padaku." Teriakku berharap seseorang mendegarkannya dan membatu Ibuku yang sudah tidak bernyawa.

*****

Terimakasi udah mau membaca tekan tanda tambahnya ya ^^, aku akan update setiap hari jumat terimaksi.

matahari tengah malam Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora