Tiga Puluh

27 4 2
                                    

|| Bantuan Untuk Cindy ||

Ponsel Calya berbunyi dengan nama Cindy terpampang di layar. Gadis berambut Dora tidak bergeming, enggan untuk meyambung panggilan. Namun setelah tiga kali, berdering dengan nada yang sama memutuskan Calya menyambar ponsel, memejamkan mata dan menempelkan benda itu ke telinganya.

"Mbak Calya, aku bisa minta tolong nggak?" tanya suara dari sebrang yang mengingatkan dirinya pada kesedihan.

"Kenapa, Cin?"
Nadanya pelan dan bergetar.

"Mbak Calya sakit?"

"Enggak, sedikit nggak enak badan. Ada apa? Apa yang bisa dibantu, Cin?"

"Mas Gaga nanti jam 11 sudah boleh keluar, dan kemungkinan keretaku sampai jam 5an. Bisa minta tolong nggak, jemput dia di rumah sakit, Mba?"

Calya tercekat, membantu Cindy artinya bertemu dengan Gama lagi. Apakah hatinya akan siap bertemu dengan Gama dalam kondisi sadar? Haruskah ia menahan perasaan yang masih tetap sama meskipun sebuah fakta begitu menyakitkan.

"Gimana, Mbak? Bisa?"

Calya menarik air dari hidungnya yang mulai muncul, "Iya, Cindy."

"Makasih ya, Mbak. Nanti anterin ke rumah aja, Mbak enggak perlu nungguin aku sampai, ya. Sekali lagi makasih ya, maaf aku udah merepotkan."

Panggilan berakhir, rasa sesak menghampiri Calya lagi. Tetesan bening meluncur dengan bebas melintasi pipinya.

Andaikan kamu tahu, Cin, apa yang sudah diperbuat oleh kakak kamu.

Atau mungkin ini semua hanya akal-akalan Gama dan Cindy agar aku bertemu Gama kembali?

***

Sudah berulang kali Calya menyusuri lorong ini menuju kamar teman mamanya. Beberapa hari yang lalu ia datang kesini dan mendapat kabar yang sangat mengejutkan. Kemarin, ada sedikit kebahagiaan ketika melihat penghuni kamar itu sadarkan diri, berharap itu adalah pertemuan terakhir kalinya. Tetapi semesta berkehendak lain, hari ini ia harus kembali ke sini, entah kejutan apa lagi yang akan dialami Calya.

Calya masih berdiri di depan pintu dengan angka dua, menghela nafas panjang menetralkan perasaannya. Adik Angga memantapkan memutar kenop pintu, mendapati kakak Cindy duduk di ranjang rumah sakit ditemani pegawai berbaju putih dengan beberapa kertas di tangannya.

Gadis berbibir ranum itu tidak menghiraukan pria yang berbinar dengan senyuman simpul melihat kedatangannya. Calya berjalan menghampiri pegawai dengan nama Rio."Bagaimana, Mas?"

"Kata dokter Mas Gama sudah boleh pulang. Setelah mengurus semua administrasinya, Mbak bisa kembali lagi kesini."

Calya mengangguk, hati kecilnya bersyukur karena Gama bisa keluar dari rumah sakit meskipun ia harus berjalan dengan bantuan tongkat di kedua lengannya. "Semua admisnistrasinya sudah saya selesaikan, Mas."

"Sambil menunggu, Mbak bisa membereskan semua baju dan perlengkapan pasien," ucap Rio sebelum meninggalkan mereka berdua.

"Terimakasih."

Masih dengan mengabaikan Gama, Calya menjalankan perintah Rio. Dan sekali lagi atas dasar kemanusiaan dan demi Cindy, --gadis berambut ikal yang sudah seperti adiknya sendiri.

Beberapa hari yang lalu Calya sendiri yang mempersiapkan semua kebutuhan Gama di sini, tidak menyangka bahwa ia juga yang akan membereskannya kembali. Calya membuka lemari kecil di samping ranjang, mengeluarkan semua isinya dan memasukkan pada tas hitam. Mengosongkan laci yang tanpa sengaja menyentuh benda pipih yang tempo hari ia terima dalam keadaan padam kini menampilkan foto dirinya ketika melewatkan pergantian tahun bersama. Hal yang hampir saja membuat pertahanannya runtuh. Perasaan Calya pada Gama masih sama, masih tetap sangat mencintainya.

"Makasih, Sa."

Calya tidak mengacuhkan, ia masih sibuk merapikan barang Gama memastikan tidak ada satu barangpun yang tertinggal di ruangan Zaitun no.2.

"Aku kira --,"

"Aku kesini atas permintaan Cindy, jangan berlebihan!" potong Calya.

Kebetulan perawat Rani datang, keberuntungan bagi Calya karena tetesan air bening sudah berada di pelupuk mata, bersiap turun membasahi pipinya.

"Beruntung ya, Mas Gama punya teman mbak ini. Meskipun tiap malam nggak ada yang menunggu tapi waktu pulang ada yang menjemput," ucap perawat memecah keheningan diantara mereka.

Ada rasa iba mendengar peryataan perawat itu, Calya tidak bisa membayangkan bagaimana jika kakak Cindy ingin pergi ke kamar mandi atau kebutuhan lain sementara kondisinya seperti sekarang.

"Iya, Mbak. Setidaknya ada yang mau menjemput saya," ucap Gama menatap Calya dengan senyuman tulus.

Calya masih berdiri memainkan ponsel tidak menanggapi percakapan mereka.

"Sebentar ya, Mbak. Saya panggilkan sopir taksi dulu untuk bantu bawa barang-barangnya," pamit Calya, karena nyatanya ia tidak akan sanggup membawa barang Gama sekaligus mendorong kursi roda.

Beberapa saat kemudian Calya kembali dengan ditemani pria paruh baya mengenakan seragam dengan logo salah satu perusahaan jasa transportasi di saku dada kirinya.

"Minta tolong, dorong kursinya, ya, Pak!" ucap Calya sambil menghampiri kumpulan barang di sudut kamar.
Terlihat lucu, seharusnya pria paruh baya tadilah yang mengangkat barang dan dirinya yang mendorong kursi roda Gama, namun mentalnya belum sanggup untuk berada dekat dengan pria bermata sipit ini.

Sesampainya di dalam mobil,
"Kita mau kemana, Mbak?" tanya sopir label nama Budi di dada.

"Tanya saja sama yang di belakang, Pak."
Ia memilih duduk di depan dan membiarkan Gama duduk sendiri di bangku belakang, nyatanya ini sangat membantu gejolak perasaannya.

"Kemana, Mas?"

"Jl.Anggrek Gang IV, ya, Pak."

Sesampainya di tempat tujuan, lagi-lagi Calya memilih membawa tas warna hitam dan pak Budi memapah Gama membantunya berjalan menggunakan tongkat. Tanpa bertanya Calya merogoh salah satu saku tas mencari kunci rumah Gama yang ia terima dari pihak rumah sakit.

Begitu memasuki rumah, Calya langsung menekan saklar untuk mematikan lampu, membuka korden dan juga jendela. Udara di rumah ini masih pengap setelah hampir seminggu ditinggal penghuninya.

Sementara Gama masih harus belajar berjalan memasuki ruangan di rumahnya. Butuh waktu lama hanya untuk bisa duduk di ruang tengah.

Calya masih sibuk di dapur, memeriksa isi kulkas, menyalakan kompor untuk mengisi termos air  panas, barangkali Gama membutuhkan.

"Calya ...,"

Entah Calya yang terlalu sibuk atau Gama yang memang sengaja tidak membuat suara. Pria itu kini sudah berada di belakang Calya yang sedang membungkuk di lemari pendingin.
Calya menarik tubuhnya, menutup pintu kulkas dan membalikkan badan. Calon suami mamanya kini berada beberapa langkah di hadapannya.

"Minggir!"

"Cal, ada yang perlu aku jelasin sama kamu," ucap Gama dengan nada memohon. Ia mengulurkan tangan berniat meraih bahu Calya.

"Jangan sentuh!" gertak Calya sambil mengacungkan jari telunjuk di depan wajah Gama dan membuat pria itu mengurungkan niatnya.

"Semua nggak seperti yang kamu kira, Cal."

Melihat Gama yang menarik kaki semakin mendekat kearah dirinya membuat Calya ingin melangkah mundur, tapi sial badannya kini sudah tertahan lemari pendingin.

"Berhenti, Gam! Selangkah lagi kamu mendekat, aku nggak akan segan untuk mencelakai kamu!" ancam Calya dengan tatapan tajam meyakinkan bahwa ucapannya bukan   bercandaan.

"Lakukan, Cal! Lakukan kalau itu bisa membuat kamu memaafkan aku!" ucap Gama yang masih tidak mau menuruti perkataan Calya.

Amarah dan emosi yang sejak seminggu lalu Calya tahan kini sudah tidak bisa ia kendalikan lagi, yang awalnya hanya sebuah ancaman untuk Gama agar menjauh. Namun melihat pria itu melakukan kebalikan perintahnya ditambah lagi bayangan pria yang sangat dicintainya itu berada dipelukan mamanya, refleks membuat Calya mengayunkan kaki kanannya.

Coba tebak, kira-kira ngapain nih?

Calon Papa (TAMAT)Where stories live. Discover now