Tujuhbelas

21 7 2
                                    

|| Cinta Pertama ||

☆☆☆

Mengenakan atasan berwarna pink soft yang dipadukan dengan rok jeans selutut membuat penampilan Calya terlihat lebih muda. Apalagi dilengkapi dengan make up natural dan jepit rambut yang menghiasi rambut pendeknya.

Berkali-kali ia memantaskan diri di cermin kamar. Semuanya terlihat sempurna tetapi detak jantung Calya tidak seperti biasanya, bekerja lebih cepat mengalirkan darah ke seluruh tubuh Calya. Apalagi setelah Gama mengabarkan sedang dalam perjalanan, Calya bisa merasakan bahwa tangannya gemetar. Ia mencoba menggerakkan jemarinya seperti meremas kertas, menghilangkan keringat dingin yang mulai membasahi telapak tangan.
Perasaan tegang, kepala berkunang-kunang, bahkan sesekali mual sudah Calya rasakan dari semalam, lebih tepatnya semenjak ia mengirim pesan kepada Gama.

Calya : Gam, lagi ngapain

Gama : Nonton TV. Tumben kirim pesan, ada apa

C : Besok ada acara nggak

G : Di rumah aja sih, gimana

C : Kita ketemu yuh

G : Serius banget, ada masalah?

C : Besok aja ya, sampai ketemu besok

Suara kendaraan yang berhenti di depan rumah disusul klakson mobil, menandakan Gama sudah berada di halaman rumahnya. Calya bergegas keluar kamar sambil menyambar tas slempang yang berwarna senada dengan bajunya.

Gama melempar senyum ketika gadis itu membuka pintu,
"Kita mau ke mana, Cal?"

"Ada deh, nanti aku tunjukin," jawab Calya yang langsung membalikkan badan, mengunci pintu dan menghampiri mobil Gama.

Disambut dengan senyuman yang sejak dulu selalu membuat Calya meleleh dan sekarang ia merasa semakin kesulitan menghirup oksigen di sekitarnya.

***

Tempat ini Calya dapat dari Nata. Sebuah danau kecil yang dikelilingi oleh pohon cemara, memberikan hawa sejuk dan damai di pinggir kota yang tidak pernah sepi oleh para penghuninya. Lokasi yang tidak terlalu ramai untuk membicarakan hal yang menurut Calya sangat berpengaruh di kehidupannya.

Bagaimana tidak, cinta monyet atau lebih tepatnya cinta pertama yang selama ini ia pendam dan berusaha ia kubur dalam-dalam namun ternyata tetap tumbuh subur bahkan sampai menembus ke alam mimpinya.

Penantian sebuah kisah yang tidak pernah dimulai, tetapi hari ini Calya akan memulainya dan mungkin sekaligus mengakhirinya.

"Ada apa, Cal?" Gama meraih lembut tangan Calya dan menggenggamnya. Gadis yang duduk di bangku kayu itu sedari tadi terdiam dengan pandangan menerawang jauh ke dasar danau.

Calya masih terdiam, pandangannya kini beralih ke jari Gama yang masih terpaut dengan miliknya.
Apa arti semua ini Gama?

"Kayaknya kamu tegang banget, Cal? Malahan dari tadi malem, kenapa? Ada masalah?"

Calya menarik jemarinya, ia menautkan dua jemarinya di atas pangkuan.

"Ada yang mau aku sampaikan sama kamu, Gama," ucap Calya pelan pada akhirnya.

Gama mengangguk sebagai tanda setuju, dan menunggu kelanjutan kalimat yang akan keluar dari bibir Calya.

"Jangan memotong pembicaraan sebelum aku selesai bicara."

"Oke."

Calya menelan salivanya, rangkaian kalimat yang jauh-jauh hari sudah ia persiapkan dan dari semalam ia hafalkan menguap hilang begitu saja. Lidahnya kelu, jangankan untuk berbicara hanya mengeluarkan sepatah kata saja rasanya sangat sulit bagi Calya.

"Aku suka sama kamu, Gama ...,"
Suaranya bergetar, Calya setengah menahan nafas ketika mengawali kalimatnya." ... dari dulu. Bukan dari pertama kita ketemu sebagai teller dan nasabah, tapi sejak SMP."

Keadaan kembali hening, hanya terdengar suara ranting cemara saling bergesekan terkena angin.
Sekilas Gama menoleh ke arah  wanita berkulit kuning langsat, sedikit terkejut namun hanya dalam hitungan detik. Ekspresi wajahnya kembali seperti semula.

"Kamu boleh menganggap ini cinta monyet atau apa ..., aku juga nggak meminta jawaban dari kamu."

""
Gama mengerutkan kening mendengar kalimat Calya.

"Karena setelah kesempatan kedua ini, aku cuma pengen mengutarakan perasaan aku. Kedengarannya tidak masuk akal, percaya atau enggak tapi cerita ini selalu membayangi sampai ke alam mimpi, Gam ...,"
Calya menghela nafas panjang, sebagian beban di dadanya sudah terlepas bersamaan dengan untaian kalimat dari bibirnya." ... sekali lagi, aku nggak berharap apapun dari kamu. Aku cuma pengen menamatkan kembang tidurku, Gama."
Perasaan terharu menjalari hati Calya, seandainya pengakua  ini ia lakukan belasan tahun yang lalu ...
Rasa sesak di dadanya sudah menghilang berganti dengan sebuah kelegaan. Calya merasakan hawa panas di pelupuk mata. Ia mendongakkan wajah, mengerjapkan mata berusaha agar air bening itu tidak membasahi pipinya.

"Udah, Cal?"

Bersambung ...

Lha masa tanggapan Gama begitu? Padahal Calya udah panjang lebar mengutarakan isi hatinya

Ada yang kecewa?

atau justru gemas juga sama Gama?

Simak part selanjutnya ya

Calon Papa (TAMAT)Where stories live. Discover now