Dua Puluh Dua

21 7 3
                                    

|| Pemakaman ||

☆☆☆

Peristiwa itu sudah terjadi beberapa tahun yang lalu, namun semuanya terasa masih jelas dalam benak Calya setiap ia memasuki area pemakaman. Gadis yang mengenakan dress panjang berwarna putih dan dilengkapi selendang warna senada yang menutupi kepala memang sangat dekat dengan papanya, bahkan beliau sempat mengetahui sosok Gama ketika pengambilan raport di semester tiga masa putih birunya.

"Kayaknya Dora papa udah remaja nih, udah mulai naksir cowok, ya," ledek papanya ketika mereka menyusuri koridor meninggalkan ruang kelas Calya.

"Apa sih, Pa?" tanya Calya kecil dengan tersipu.

"Yang mana? Papa tebak boleh?"
Papanya setengah berbisik melihat reaksi putrinya.

"Apaan sih?" Calya tersipu dengan menyembunyikan senyumnya.

"Pasti yang itu kan?" Papa Calya menunjuk seorang cowok memakai tas ransel warna merah yang berjalan dengan seorang wanita berambut sebahu.

Calya berhenti di salah satu nisan berwarna hitam dengan ukiran berwarna emas bertuliskan nama Hari Iriawan.
Ia berlutut, dengan telaten menaburkan bunga yang dibelinya dari penjual di depan makam. Bibir ranumnya bergerak melantunkan doa.

"Hai, Pa. Papa apa kabar? Doranya papa datang lagi," sapanya lirih dan bergetar.
Seperti biasa ia akan duduk lama di tempat itu. Bercerita seolah Hari berada di hadapannya, mendengarkan dirinya berceloteh seperti di masa hidupnya dulu.

"Pa, maaf ya aku jarang ke sini. Bukan berarti aku udah lupa sama papa, tapi ... ," Calya menghela nafas panjang menghilangkan cairan bening yang mulai mengalir di hidungnya."Aku udah ketemu Gama. Cowok yang dulu pernah papa tanyain, sekarang dia udah dewasa." Calya mengalihkan tema pembicaraan di kalimat pertamanya. Ia kembali mengusap hidungnya yang mulai berair. Bermacam perasaan bercampur aduk di rongga dadanya,sebuah penyesalan, sedih dan juga terharu. Seandainya saja papanya masih hidup.

"Papa ..., aku selalu berharap kalo nanti aku menikah, papa yang akan jadi wali aku, tapi .... Sekarang sudah ada Mas Angga. Dia juga udah dewasa, udah nggak kayak dulu. Sekarang dia udah punya anak, namanya Zio. Itu berarti papa sekarang udah jadi kakek."

Calya mencoba tersenyum sambil mengusap lembut nisan berwarna hitam, matanya berkaca-kaca. Setiap kalimat yang keluar dari mulutnya terasa memilukan dan menyayat hati.

Keadaan hening beberapa saat, Calya menghela nafas beberapa kali dan membetulkan letak penutup kepalanya.

"Doain aku biar bisa membujuk mama, biar aku secepatnya menikah dan papa akan jadi kakek untuk anak-anak aku," ucapnya pelan. Kali ini butiran airmata meluncur dengan bebasnya hingga terjatuh ke pangkuan.

Calya dan Angga remaja sedang belajar mempersiapkan menghadapi ujian yang akan dilaksanakan bulan depan. Dengan telaten Angga mengajari adiknya rumus fisika, mata pelajaran terberat bagi Calya.

Tiba-tiba terdengar suara gaduh yang berasal dari orangtuanya. Calya yang waktu itu membuntuti kakaknya dari belakang memperhatikan dari pintu yang sedikit terbuka.

"Mel !! Enggak masalah kamu nggak peduli sama aku, tapi setidaknya kamu memperdulikan Angga dan Calya. Seminggu nggak pulang kamu kemana saja?"

"Buat apa juga aku mempedulikan suami seperti kamu, suami yang sudah tidak berguna!"

Calya kecil menoleh ke arah kakaknya, percakapan yang menurutnya masih samar-samar bisa ia cerna. Apa inti dari permasalahan pertengkaran orang tuanya.

"Aku masih normal, Mas. Masih memiliki kebutuhan batin, buat apa aku di sini kalo kamu tidak bisa memberikan itu sama aku?!"

"Seharusnya kamu menerima bukan malah memojokkan aku seperti ini. Ini bukan pertama kalinya, Meli, tapi dengan seminggu meninggalkan rumah ini sudah kelewatan. Kamu pergi dengan Rudi kan?

"Memang kalo iya, kenapa, Mas?"

"Dia itu sudah berkeluarga, Mel. Kamu juga sudah berkeluarga. Apa kamu tidak memikirkan perasaan istrinya?"

"Udahlah, Mas. Aku nggak peduli soal itu. Pokoknya aku mau pisah sama kamu!"

"MELI !!"
Tubuh Hari ambruk di depan istrinya. Seketika membuat anak-anaknya berhambur masuk dan menggoyangkan tubuh papanya.

Sesampainya di rumah sakit, Hari langsung dibawa ke IGD. Setelah menunggu beberapa jam, dokter hanya bisa mengabarkan kalau papa mereka sudah meninggal karena mengalami serangan jantung.

Tangis Calya akan pecah setiap kali ia mengingat peristiwa kelam itu. Selalu saja seperti ini, selalu saja butuh waktu lama agar ia bisa menetralkan perasaannya. Ia memang lebih dekat dengan papanya dibandingkan dengan wanita yang telah mengandung dan melahirkannya, apalagi sejak malam kelabu beberapa tahun yang lalu.

Bersambung

Masih ada malam kelabu yang bakal dilalui Calya, yang kepo lanjut di part selanjutnya ya

Jangan lupa tinggalkan jejaknya 😙😙😙

Calon Papa (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang