Tiga Puluh Satu

18 4 1
                                    

|| Hadiah Untuk Calon Papa||


Membayangkan pria berkulit putih dengan mata sipit dan bibir tipis yang ia puja dan kagumi sejak berada di bangku putih biru bersama Meliana, membuat Calya ingin menarik mundur waktu dan  tidak akan pernah menyampaikan perasaannya.

Seperti yang sering Calya lihat sendiri, di setiap pertemuan mama pasti akan cipika cipiki dengan teman prianya kemudian bergelayut manja disalah satu lengan si pria. Sedangkan tangan yang lain si pria dengan luwes menyelinap di balik pinggang mamanya. Mereka berjalan bersampingan tanpa mempedulikan pemandangan sekitar, entah itu di rumah atau di penginapan dan kemudian berakhir di dalam kamar.

Perasaan marah, kecewa dan menjijikkan bercampur ketika menyadari ia sudah berbagi tubuh Gama dengan mamanya. Lengan yang biasa digandeng dengan menyandarkan kepala di bahu Gama, tubuh yang terkadang tiba-tiba memeluk, genggaman jemari yang tak pernah lepas ketika menyusuri jalanan. Dan yang lebih menyakitkan lagi adalah bahwa Meliana sudah mendapatkan lebih banyak kenyamanan dari semua yang ada pada tubuh Gama. Bukannya iri tetapi  sesempit inikah dunia sehingga ia harus berebut pria dengan mamanya sendiri?

Bayang-bayang merekan refleks membuat Calya benar-benar mengayunkan kaki kanan pada kaki Gama. Masih beruntung sasaran Calya bukan kaki yang masih dalam pemulihan pasca operasi. Gerakan Calya membuat tubuh Gama terjatuh dan terpelanting di depan pintu dapur.

Ada rasa bersalah dan iba melihat teman dekatnya meringis kesakitan, namun saat ini emosi lebih besar menguasai putri Meliana dibandingkan jiwa malaikatnya. Calya menggigit bagian dalam bibir bawahnya.

"Kamu pikir aku hanya main-main?" gertak Calya bersidekap dan maju dua langkah di depan pintu kulkas.

"Lakukan, Cal! Kamu bisa lakukan apapun, aku memang bersalah."

"Terlambat kamu menyadari semua ini!" Calya menatap tajam pada pria yang mendongak menatapnya.

"Kamu bisa bunuh aku jika itu bisa membuat kamu lebih baik, tapi beri aku --,"

"Kamu pikir aku wanita bodoh?! Terlalu sayang kalo aku harus membunuh calon papa yang masih muda seperti kamu, Gama," sindir Calya.

"Semua nggak seperti yang kamu kira, Cal,"

"Cukup, Gam! Kalo bukan karena Cindy, aku udah jijik liat muka kamu lagi! Pria yang ku pikir baik-baik tapi ternyata ...,"

"Antara aku dan mama kamu, enggak ada apa-apa," potong Gama membela diri.

"Dulu, waktu di awal kita bersama, kamu bilang akan melangkah lebih serius setelah menyelesaikan masalah. Masalah apa, Gama? Kalau ternyata permasalahan itu adalah kamu ingin memuaskan diri dengan wanita lain sebelum akhirnya menikah? Atau mungkin itu masalah yang tidak akan pernah selesai sampai kita membina rumah tangga?! Bagi aku masalahnya bukan soal mama, tapi sifat kamu yang seperti ini enggak bisa aku terima, Gam! Masa depan seperti apa yang akan kamu janjikan, dengan kepribadian yang seperti ini?!" serang Calya hingga nafasnya tersengal, terlalu banyak kata yang terlontar dari bibir ranumnya. Ini adalah waktu yang tepat untuk meluapkan semua emosi dan kecewa yang bersarang di hatinya.

"Kamu bisa saja membohongi semua orang. Rekan kerja, keluarga dan termasuk adik kamu sendiri ...," intonasinya menurun, ia mengalihkan pandangan ke lemari kaca yang berisi tumpukan perabot yang tidak terpakai.
"... tapi enggak dengan aku, Gam!"

Dengan berani dan menantang, Calya melebarkan matanya menatap Mata sipit Gama.
"Meliana itu mamaku, aku tahu persis seperti apa sifat dan kebiasaannya, termasuk dengan 'kalian' semua!" nadanya penuh penekanan di akhir kalimat.
Adik Angga ini kemudian maju selangkah,
"Berapa lama kalian sudah bersama?"

Kemudian ia berjongkok, menatap raut wajah Gama. "Berapa kali kamu tidur sama mama?"

"Calya!" bentak Gama sebagai pembelaan.

"Gimana rasanya?
Apa Meliana bisa memberi kepuasan untuk kamu?
Diantara kalian siapa yang lebih mendominasi, Gam?"
Calya menarik satu sisi bibirnya.

"CALYA SALSADILA!!!"

Mendengar Gama memangil nama lengkapnya membuat tubuh putri Meliana ambruk terduduk dengan menekuk lutut. Ia menarik tubuhnya ke belakang bersandar pada lemari pendingin. Airmatanya tidak bisa dibendung lagi, beban yang selama ini ia tahan belum sepenuhnya ditumpahkan tetapi ada sedikit kelegaan ketika ia bisa menyudutkan Gama dengan perkataan pedas. Walaupun dalam hati yang paling dalam ia masih meyakini bahwa cinta monyetnya tidak mungkin mengahabiskan waktu seperti teman pria mamanya yang lain.

Kali ini Calya benar-benar meluapkan semua perasaannya, ia membiarkan butiran airmata yang deras melintasi pipi dan terjatuh di dada.

Gama hanya terdiam dengan bermacam penyesalan ketika mendapati gadis yang selalu menjadi pemilik hatinya terlihat sangat terpukul dan berantakan. Percuma jika ia menjelaskan apapun, Calya pasti tidak akan mendengarkannya. Gama mendengus sambil mengusap wajahnya dengan kasar, tidak tega melihat adik Angga dalam kondisi seperti sekarang.

"Kenapa kamu sejahat itu, Gama? Apa kamu pikir perasaan aku hanya main-main? Lalu kamu menganggap apa semua hal yang telah kita lewati, Gam?" Calya terisak mencurahkan isi hati. Seiring derasnya air bening yang mengalir memberikan kelegaan di hati Calya.

"Cal-lya," ucap Gama pelan sambil berusaha mendekati gadis yang selalu menjadi prioritas setelah ibunya.

Menyadari gerakan Gama yang berusaha mendekat, Calya dengan kasar menghapus airmatanya.
"Cukup, Gama!" Ia berdiri, menyambar tas dan melangkah pergi meninggalkan pria yang berusaha meraih tongkat untuk membantunya berdiri.

"Semua biaya rumah sakit, anggap saja itu hadiah dari calon anak tiri kamu," ujar Calya yang berhenti tepat di samping Gama, kemudian berlari keluar dari bangunan yang juga pernah memberi kenangan di dirinya.

***

Hari-hari yang Calya lewati terasa begitu berat dan hampa. Sebagian orang akan menganggap bahwa ia amsih berduka atas kepergian mamanya, padahal lebih dari itu. Nata yang entah kapan kembali dari pekerjaan juga rahasia tentang Gama yang harus ia simpan seorang diri.

"Cal, pinjem bolpoint, dong," ujar Selfi, rekan sesama teller.

"Hufh ...,"
Calya meraba di saku namun tidak menemukannya, "Maaf Mbak, kelupaan."

"Biasanya tuh bolpoint manik-manik enggak pernah absen tergantung di leher, kok sekarang lupa?"timpal Selfi lagi.

Calya hanya meringis, menarik bibirnya dengan hambar."Hilang, Mbak," balasnya berbohong.
Yang sebenarnya terjadi adalah ia sudah menaruh benda itu di tempat sampah.

"Ya udah deh, gue pinjem lo, dong, Don!" teriak Selfi pada pria yang berjarak dua meja dengan dirinya.

Calya menopang dagu dengan menautkan dua telapak tangan. Menghela dan mengeluarkan udara lewat hidung dengan pelan, berharap rasa sesak di dadanya juga menghilang bersamaan dengan udara yang keluar. Ia melirik jam di pergelangan tangan, waktu istirahat nanti akan ia pergunakan untuk bertemu dengan head teller-nya. Ia berniat izin sehari karena besok malam adalah pengajian empat puluh hari kepergian mamanya.

Pikiran Calya kembali melayang pada benda itu, bayangan lelaki pemberi bolpoint manik-manik kembali hinggap di kepala. Terlalu susah untuk menganggap semuanya tidak pernah terjadi.

Bersambung ...

Calon Papa (TAMAT)Where stories live. Discover now