Sepuluh

26 8 5
                                    

|| Rencana Awal ||

☆☆☆

"Udah lama kamu nggak pernah nengokin kakak, Sa," ledek Angga pada Salsa, nama panggilan Calya di keluarganya.

"Kerjaan lagi sibuk banget, Mas."

"Masih tinggal sama Nata?" tanya Angga lagi.

Calya mengangguk. "Lumayan lah buat rame-ramein rumah."

Calya memperhatikan kakaknya. Setelah meyakinkan dirinya bahwa ini adalah saat yang tepat, dengan lirih ia mulai bersuara.
"Mas Angga nggak pernah maen ke rumah mama?"

Angga mendengus dan tersenyum hambar,"Kamu nggak tahu apa yang udah mama lakuin ke Kiran, Sa."
Tatapannya menerawang jauh, seperti ada luka di sorot matanya.

"Tapi bagaimanapun mama kan tetap orangtua kita, Mas. Hanya satu-satunya --- ,"

"Satu-satunya setelah dengan kebodohan istrinya sendiri. Nggak pantes dipanggil mama, dia nggak bisa ngasih contoh yang baik untuk anak-anaknya," sanggah Angga, nada lembutnya berubah dingin.

Calya mengambil nafas panjang, memandangi perubahan wajah kakaknya, kamu belum berubah, Mas masih keras kepala seperti dulu.

Suasana berubah menjadi hening.
Tiba-tiba Kiran-istri Angga melangkah ke arah mereka dan meletakkan minuman di meja.

"Udah berapa bulan, Mbak? Kapan nih aku bisa gendong keponakan?" tanya Salsa mengalihkan topik pembicaraan dengan kakaknya.

"Dua bulan lagi," jawab Kiran mengusap lembut perutnya.
Kini ia sudah duduk disamping suaminya.
"Terus, kapan dong mbak bisa ketemu sama calon adik ipar?"

"Doain aja, Mbak. Ini udah mulai kelihatan hilalnya."

"Emangnya kita mau lebaran nungguin hilal?" potong Angga.

"Doain juga, Mbak. Biar mama bisa berubah."

"Kamu yakin mau nikah setelah dia berubah? Jadi prawan tua kamu, Sa," potong Angga.

"Hush!! Mulutnya dijaga dong, Mas. Mbak setuju sama kamu, Sa, jangan contoh kakak kamu. Diam-diam jadi anak durhaka."

"Kamu masak apa, Rin? Laper nih," tanya Angga mengalihkan tema obrolan mereka.

"Bentar ya, aku panasin dulu."

"Aku bantuin ya, Mbak."
Calya ikut bangkit dan menyusul kakak iparnya.
Semoga aja kamu nggak jadi prawan tua Salsa

***

Sepulang kerja Nata mendapati sahabatnya bermalas-malasan di depan TV ditemani secangkir kopi, pandangannya kosong dengan menatap satu titik bahkan salamnya saat membuka pintupun sampai tidak dibalas oleh Calya.

"Lo kenapa, Cal?"

"Lo masuk darimana?" Calya berbalik tanya.

"Ada masalah apa lagi?" pertanyaan Calya justru dijawab dengan pertanyaan lagi.

Calya membuang udara dari bibirnya, wajahnya lesu pandanggannya tidak bersemangat.

"Padahal gue ada kabar bahagia buat lo, Cal," terang Nata antusias menghampiri sahabatnya.

"Soal apa?"
Calya menoleh malas ke arah sahabatnya.

"Sesuai kesepatan kita, enam bulan ke depan gue nggak ikut patungan buat bayar kebutuhan rumah ini. Pokoknya udah dijamin 100% cinta monyet lo bakalan dateng di reuni kita. Gue pinterkan?" jelas Nata dengan wajah berbinar dan merentangkan kedua lengan ke atas kepalanya.

Di luar dugaan Nata, Calya justru tidak bergeming sama sekali tidak respon bahagi dari sahabatnya. Padahal dalam bayangan Nata, Calya akan memuji dirinya dan kemudian berakhir dengan mendapatkan makan malam gratis dari sahabatnya. Tapi, "Gue udah nggak tertarik, Nat."

"Hah! Serius! Emang kenapa? Ternyata Gama nggak doyan wanita ya?" tebak Nata ngasal.
"Sayang banget, ganteng-ganteng malah jeruk makan jeruk," lanjut Nata seraya kembali mengingat pertemuannya sekaligus untuk mengubah ekspresi wajah Calya.

Menurut perjalanan dua tahun hidup bersama Calya, saat ini adalah ekspresi terjelek wajah sahabatnya.

"Gue mundur, Nat. Dia udah punya pasangan dan kayaknya mereka juga saling menyayangi," papar Calya kemudian menundukkan wajahnya.

"Lo tau darimana?"

Masih dengan mimik yang sama, Calya menceritakan Gama dan gadis berambut ikal yang minggu lalu datang ke kantor Gama. Tentang kedekatan mereka, apalagi Calya sempat melihat Gama menelfon dengan bahasa yang lembut dan sangat perhatian.

"Kembali ke rencana awal. Yang terpenting kan lo cuma mau namatin mimpi lo. Perkara hasil akhirnya bagaimana kan lo nggak mau ambil pusing. Iya kan?"

Kalimat Nata sepertinya berhasil memotivasi Calya lagi, airmukanya berubah. Seulas senyum tercetak di bibirnya.

"Nah gitu dong. Lo nggak tahu sih perjuangan gue buat nyuruh Dipta bujukin Gama, gue mesti beliin dia sepatu model terbaru."

"Halah palingan juga sepatu yang ada dipinggir jalan itu, kan? Berapa berapa ngomong sama gue?" Calya menantang Nata. Ia menopangkan dagu di telapak tangan kanan kemudian memainkan kedua alisnya.

"Habis mandi, temenin gue beli nasi goreng ya," cicit Nata.

"Nah kan, udah kebaca ni taktiknya Natari."

"Tapi soal gue beliin barang buat Dipta, itu beneran lho, Cal. Belum lagi gue mesti jawab pertanyaan kepo dari dia," bela Nata.

Bersambung

Adakah yang nunggu kisah Calya dan Gama?

Maaf nih harus terlalu lama menunggu, kemarin2 fokus namatin cerita dulu

Semoga suka sama part ini ya 😊😊😊

Calon Papa (TAMAT)Where stories live. Discover now