○Perjanjian○

3.1K 406 52
                                    

SPAM KOMEN
UNTUK NEXT CHAPTER>3

***

16. Surat pernjanjian Bonbeng.

"Dari hujan kita belajar bahasa air. Bagaimana berkali kali jatuh, ia tak pernah mengeluh pada takdir."

Celsa tertawa riang ketika berlari lari kecil di bawah derasnya hujan malam ini. Seakan semua beban dan masalah hilang dan lenyap begitu saja terbawa aliran hujan. Hujan memang salah satu favorit Celsa, katanya selalu bisa menginspirasi.

Sementara Adil, lelaki itu juga ikut berlarian di bawah guyuran hujan yang agak deras. Ia tak mau merusak suasana hati Celsa kali ini, ia memang sudah melarang agar tak bermain hujan, tapi yang ada Celsa bertambah cemberut.

Dengan jahil Adil menghentakkan kakinya cukup keras di atas tanah yang dibanjiri air itu, membuat air itu muncrat. Celsa menoleh, dia menatap sengit pada Adil. Gadis itu menyeringai jahil dan membalas perlakuan Adil padanya. Berakhirlah keduanya bermain air dengan tawaan terus terdengar.

Celsa berlari menghindari cipratan dari Adil. Lelaki itu langsung berlari mengejar Celsa. Keduanya berlarian mengelilingi desa itu. Hingga mereka tak sadar sudah berlari cukup jauh dan sampai pada sebuah desa terpencil.

Tawa Celsa pecah saat tangan Adil berhasil menangap tubuhnya dari belakang. Gadis itu menjerit gara-hara Adil memutar mutarkan tubuhnya.

Adil yang sudah sadar akan Celsa, dia langsung menurunkan tubuh gadis itu dan segera berlari menjauh sebelum Celsa membalasnya. Celsa berbalik, ia segera mengejar.

Begitu sudah dekat dan tepat berada di belakang tubuh Adil, gadis itu melompat dan menaiki punggung Adil. Lelaki itu mengerjap, namun diakhiri dengan tertawa karena ia berhasil menyeimbangkan loncatan Celsa.

Celsa menyandarkan dagunya pada pundak Adil. Menikmati kedamaian yang kini ia rasakan. Hembusan angin yang pelan membuat suasana makin mendukung. Kaki Adil melangkah pelan, sengaja ia mengulur waktu. Tak mau kebersamaannya cepat berlalu.

Hal yang sangat tak pernah Adil duga. Akhirnya bisa menikmati kebersamaan bersama gadisnya. Jantungnya berdegup kencang. Hal yang hanya ia rasakan saar bersama Celsa.

Celsa menoleh, menatap wajah Adil dari samping. "Dari hujan kita belajar bahasa air. Bagaimana berkali kali jatuh, ia tak pernah mengeluh pada takdir."

"Begitupun gw. Gw pengen kaya hujan, nerima takdir tanpa ada kata pengeluhan. Tapi gagal. Takdir kali ini begitu sulit, sakit, dan retak. Semuanya mendominasi takdir kali ini. Enggak pernah gw duga kalo semuanya jadi kaya gini."

"Enggak pernah gw duga, ternyata gw anak dari selingkuhan ayah. Hal yang benar-benar membuat gw sakit, gw anak siapa?" Celsa terisak, gadis itu mencoba menahan tangisannya. Namun berahkir sia-sia.

"Apa gw anak haram? Apa gw sekeji itu di mata ibu gw? Apa gw ga pantes hidup? Atau gw emang ga pantes bahagia?" pertanyaan demi pertanyaan yang terbesit dipikiran Celsa, ia keluarkan.

"Apa gw kesalahan yang harus berakhir mati? Lenyap?" tangis Celsa kali ini benar-benar pecah. Air matanya yang terus mengalir bercampur dengan turunnya air hujan.

Adil menghela nafasnya pelan. Ia menoleh dan menatap gadisnya. "Lo ga sekeji itu. Kejadian tadi biar berlalu, lo lupain. Lo alirin kejadian tadi lewat air hujan ini, biar air membawanya kemana aja. Asal hilang dipikiran lo, dan dipikiran lo, tempatin gw." katanya bijak. Tapi sama saja, tak lupa untuk membawa dirinya dan ngelucu.

Celsa terkekeh pelan, air mata yang membasahi pipinya terasa gagal turun saat Celsa tertawa. Hingga ia tersadar sesuatu.

"Kita di mana, beng? Di sini kayak ga ada kehidupan."

Pacar Koplak [TERBIT]Where stories live. Discover now