34. Distance

454 59 42
                                    


Cantik itu, ketika kamu berencana untuk menjadi dirimu sendiri.

-Someone Behind The Lense-

Mendadak Tari jadi menaruh prasangka buruk pada Veril.

Semenjak tahu jika Arseno dan Veril saling mengenal, Tari jadi menjauhi Arseno. Mungkin ini sudah hari kelima Tari tak bertemu dengan kakak kelasnya itu. Ada rasa tak nyaman ketika Arseno seakan ‘main belakang’ dengan Veril.

Seakan-akan, Tari memergoki Arseno berselingkuh dengan sahabatnya sendiri.

Tidak. Tari Tidak cemburu. Hanya saja dia mulai memikirkan skenario lain. Melihat seberapa penting Arseno bagi Veril malam itu—ditambah fakta jika mereka sudah lebih dulu dekat jauh sebelum Tari mengenal Arseno—bisa saja ada ‘sesuatu’ dihati Veril.

Hati perempuan siapa yang tahu?

Jadi kalau memang ada sesuatu, Tari harus apa? Dia harus mundur? Tapi kan Tari sudah terlanjur sa—

“Ngelamun, Buk?”

Tari menoleh saat suara Ilyan—si ketua kelas 11 IPA 2 ini biasa dipanggil Iyan—menyapa indra pendengaran. “Kurang lama ke toiletnya, Bu Reti sampe nyuruh gue bawak buku cetak ke kelas.”

Pikiran Tari soal hubungan Arseno-Veril langsung bubar seketika.

Keberadaan Tari memang tipis, bahkan sering dianggap tidak ada. Tapi kalau sudah urusan mendadak seperti ini, guru-guru senang sekali menjadi ‘kenal’ dengan Tari dan menyuruhnya untuk membantu ini-itu. Contohnya seperti sekarang, kebetulan Tari lewat di depan ruang guru sekembalinya dari toilet, tiba-tiba Bu Reti memanggil Tari untuk menyuruhnya menggantikan Iyan yang sedang permisi ke toilet.

“Maaf-maaf.” Iyan menyengir tak berdosa. Mengambil buku cetak ditangan Tari dan meninggalkan beberapa untuk dipegang oleh gadis itu. “Tumbenan jam segini udah balik ke kelas. Biasanya udah bunyi bel baru balik lagi. Nggak sama pacar lo?”

Heung?”

“Jangan sok nggak tahu.” Iyan mendecak, tinggi tubuh Iyan yang berbeda dengan Tari memaksanya menunduk untuk bisa menatap wajah Tari. “Bang Arseno. Kalian pacaran, kan?”

“Nggak. Siapa bilang?” sanggah Tari cepat. Menaiki anak tangga menuju kelas mereka. Disamping Tari, Iyan tampak enteng mengangkut buku cetak yang beratnya tidak tanggung-tanggung.

“Lo nggak lagi becanda kan, Tar?” Iyan menghentikan langkah, melihat hal tersebut pun Tari juga ikut melakukan hal yang sama. Tatapan Iyan melunak, membuat Tari mengerutkan kening. “Lo tahu kan, kalo gue suka sama lo?”

What the ...

Meskipun cukup kaget, Tari masih bisa berekspresi datar. “Lo salah makan, Yan?”

Gimana Tari nggak ngomong gitu. Soalnya kalau di kelas Tari dan Iyan tidak sedekat itu untuk bisa saling suka. Palingan hanya nitip beli susu cokelat kotak pas Iyan ke kantin tapi Tari lagi malas keluar kelas. Atau minta temani piket saat Pojokan dengan kurang ajarnya membiarkan Tari piket sendiri—padahal hari piket mereka sama. Iyan memang sering sih bersikap baik sama Tari, tapi kan—

“Lo itu orangnya nggak peka sama sekitar, terlalu fokus sama ambisi lo buat nerbitin buku. Makanya lo nggak tahu kalo ada yang suka sama lo, terlalu berpikir kalau diri lo itu nggak bisa membuat orang tertarik, padahal aslinya nggak gitu. Contohnya aja kasus Arsen. Arsen lho ya, bukan Arseno.” Perkataan Veril terngiang di kepala Tari.

My Illegal Boyfriend Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang