17. Let We in The Silence

729 84 28
                                    

Terima kasih untuk kamu yang sempat hadir hari ini.

Meskipun hanya dalam bentuk kenangan, meskipun tak sempat memberikan sapaan.

-Someone With The Lonely Night-

"Itu anaknya Galen Allaric? Wah, bukankah beruntung sekali anak itu? Sudah lah lahir dari wanita malam, tapi Galen tetap mau menerimanya. Bukankah Galen terlalu baik?"

"Tapi ku dengar perempuan yang melahirkannya bukan perempuan yang berasal dari Negara ini."

"Kau serius? Ku lihat kulitnya memang tampak seperti kaukasian, beruntung ada darah Galen di dalamnya, jadi masih ada perawakan Asia di dalam tubuhnya meskipun hanya sedikit."

"Maksudnya anak lelaki tampan itu tidak di inginkan? Anak haram?"

"Yah begitu lah, hasil dari alat kontrasepsi yang bocor. Haha."

"Sstt, dia kemari."

Helaan napas berat dan kasar terlepas begitu saja dari Arseno. Padahal percakapan itu terjadi beberapa malam yang lalu, tapi masih saja terngiang di rungu. Mau tak mau Arseno terpaksa mengingatnya meskipun dia membenci semua perkataan itu.

Yang nyatanya, apa yang di katakan mereka benar pula adanya.

Di kelas 12 Ipa 2, pagi itu semua masih berjalan seperti biasanya. Langit biru cerah seperti biasa. Tampak normal, siswa-siswi silih berganti memasuki kelas untuk meletakkan tas di atas meja. Kemudian meninggalkan kelas untuk sekedar duduk di koridor sembari menunggu bel masuk berbunyi.

Taka yang baru saja memasuki kelas menatap teman satu sepermainannya itu dengan alis bertaut. "Lo kenapa? Kok lemes banget." Taka menajamkan mata. "Muka lo pucet juga. Sakit?"

Arseno hanya bergeming, memilih tetap menelungkupkan kepala di atas meja dengan tangan memeluk ransel. Entahlah, beberapa hari ini rasa-rasanya tubuh Arseno kehilangan banyak tenaga. "Belakangan lagi hectic banget, bokap juga punya banyak acara yang ngelibatin gue, makanya kecapekan." Arseno beralasan demikian. Sebenarnya apa yang Arseno katakan tak sepenuhnya salah, mungkin memang dirinya hanya sedang kelelahan.

"Are you ... okay?" Taka bukannya tak sadar jika Arseno mengenakan pakaian yang jauh lebih tertutup dari yang biasanya. Pertanyaan Taka hanya di jawab dengan anggukan, membuat si pendengar merasa tak puas. Alih-alih membuka mulut untuk interogasi lebih pannjang, Taka malah menyibak lengan almamater Arseno dengan paksa hingga menampilkan memar biru yang masih baru di sepanjang lengan Arseno. Napas Taka sempat tercekat sesaat, itu hanya lengan, mungkin di bagian tubuh lain jauh lebih parah. Taka tak mau membayangkannya.

Suaranya berubah parau tanpa di perintah. "Ini nggak self harm kan?" tanyanya cemas. Nyaris seperti bisikan.

Arseno mendecih sebal, menurunkan kembali lengan seragamnya yang tersibak. "Ya gila, lo kira gue bakal sebodoh itu?" Arseno mengerling jahil, meskipun Taka tak bisa menganggap jika Arseno sedang bercanda. "Kerjaannya bokap, akhir-akhir ini dia sering kalap," aku Arseno pada akhirnya.

"Lo nggak ngelawan?"

Arseno tersenyum miring. "Gak mau durhaka, meskipun kasar, cuma dia yang gue punya. Biarin aja dia berbuat sesukanya. Gue nggak masalah."

Ada jeda hening yang panjang sebelum Taka melanjutkan. "Ke UKS, ya? Biar gue obatin." Taka tak yakin dengan suaranya yang mendadak terdengar tersendat. Tapi Arseno malah menertawai kekhawatirannya. Mengejek Taka dengan wajah menyebalkan.

"Jangan perhatian gitu lah, geli gue." Arseno terkekeh pelan. "Thanks udah ngingetin, tapi gue nggak apa-apa kok, serius."

Selalu saja seperti itu, bersikap semuanya baik-baik saja seakan tak ada sesuatu yang buruk terjadi. Dengan bersikap seperti itu bukan malah membuat Taka merasa lega, sebaliknya, justru dia kian di landa cemas.

My Illegal Boyfriend Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang