"Mereka masih bodyguard kita, Key. Mereka akan mengikuti kita terus. Itu semua atas perintah daddy," jawab Zoe santai.

Key mengangguk. Ia pun menarik napasnya dan mengembuskannya secara perlahan.

•••

Sesampainya di sekolah, Key langsung memasuki ruang kelasnya yang langsung di sambut oleh senyuman Galen.

"Selamat pagi, Key," sapa Galen.

Key hanya tersenyum tipis menanggapinya. Kejadian semalam masih terngiang-ngiang di kepala Key.

"Kenapa?" tanya Galen pada Zie.

Zie menarik Galen ke luar kelas. Ia langsung menceritakan apa yang terjadi sehingga membuat Key menjadi gadis pendiam.

Galen mengangguk paham. Ia pun mengedarkan pandangannya ke depan halaman sekolah yang ada empat pria berbadan besar dan kekar.

Galen bergidik ngeri saat melihat otot-otot mereka yang menyeramkan. Belum lagi, wajah dingin pria itu dan juga tatapan seperti ingin membunuh.

Tak ingin lama-lama, Galen langsung kembali memasuki kelasnya menyusul Zie yang sudah masuk lebih dulu.

Tak lama bel masuk berbunyi, jam pelajaran pun di mulai. Saat di tengah-tengah jam belajar. Salah satu teman kelas Key tidak sengaja menjatuhkan kaca kecil. Bunyian kaca mampu membuat Key menjerit histeris seraya menutup kupingnya.

"Jangan!" teriak Key membuat seisi kelas menatapnya heran.

Zoe dan Zie langsung berlari menghampiri adiknya yang terlihat ketakutan. "Key, tidak apa-apa. Sadar!" ucap Zoe.

Sang guru pun menghampiri Key begitu juga para murid kelas yang mulai mengerubungi.

"Key, kamu kenapa, Nak?" tanya guru wanita itu seraya berjongkok di depan Key.

Key berdiri dan berlari ke sudut kelas. Ia jongkok di samping lemari seraya menutup telinganya. "Nggak! Jangan!"  gumam Key.

Zie berbicara pada sang guru untuk meminta guru itu mengosongkan kelas. Guru itu mengangguk dan mulai membawa murid menuju keluar kelas.

Zoe menghampiri adiknya dan memeluk erat tubuh Key. "Key, jangan seperti ini. Itu hanya pecahan kaca," ucap Zoe lembut. Sebisa mungkin ia menahan diri untuk tidak membentak Key.

Galen yang melihat Key seperti itu terdiam di tempat. Tidak menyangka jika perempuan itu akan setakut itu hanya karena pecahan kaca. "Sebenernya apa yang terjadi, Key," tanya Galen dalam hati.

•••

Al langsung bergegas menuju sekolah putrinya saat mendapat kabar tentang Key yang kembali histeris.

"Pak, meeting akan segera di mulai," ucap Stev—sekertaris Al.

"Persetan dengan meeting itu! Putriku lebih penting dari meeting itu Stev!" ucap Al marah saat Stev menahannya.

"M–maksud k–kau?" tanya Stev gugup.

"Ingatan itu kembali menghantui Key."

Stev menenggang. "Astaga, apalagi ini?" batin Stev.

"Stev, kau tolong urus pertemuanku. Aku harus segera menemui Key," ucap Al.

Stev mengangguk. "Ya, setelah selesai aku akan segera menyusul."

Al berjalan keluar dan langsung masuk ke mobilnya. Teringat sesuatu, ia meraih ponselnya di saku jas dan langsung mendial beberapa nomor.

"Jangan beritahu istriku tentang ini," ucap Al lalu mematikan panggilannya begitu saja. Ia pun langsung melajukan kendaraanya menuju sekolah Key.

Di perjalanan, ia sebisa mungkin untuk tetap fokus mengendarai kendaraanya. Bagaimana pun, keselamatannya adalah paling utama.

Tak lama, Al tiba di sekolah dan langsung berlari menuju ruangan kepala sekolah.

Ia membuka pintu dengan kasar. Pandangan yang pertama ia lihat adalah Key yang duduk dengan tatapan kosong.

Ia menarik napasnya dan berjalan menghampiri Key. "Key, ini daddy, Nak," ucap Al.

Key langsung berhambur ke pelukan Al. Saat itu juga tangisnya pecah. Al membiarkan putrinya menangis di pelukannya. Al tahu bagaimana rasanya ketika mulut tidak sanggup lagi berkata, dan hanya air mata yang mampu meluapkan semuanya.

Di tempatnya, Zoe mengepalkan tangannya kuat. Adiknya harus kembali mengingat masa lalu yang buruk. Ingatan yang mampu membuat mental sang adik kembali terguncang.

"Sialan, akan aku temukan siapa yang sudah berani mengusik ketenangan adikku," batin Zoe marah.

Galen sendiri masih tidak paham dengan sikap Keyra. Ia memang belum mengenal begitu dalam Key. Otaknya pun terlalu lemot untuk menangkap apa yang sudah Zie jelaskan padanya tadi saat di koridor.

Ingin rasanya Galen bertanya. Namun, bertanya dan meminta penjelasan di saat seperti ini bukanlah pilihan yang tepat. Galen tidak bisa melakukan apa-apa selain diam dan menyaksikan semuanya. Sembari mencerna ucapan Zie tadi.

Galen merasa kesal dengan kapasitas otaknya yang terlalu lemot untuk menangkap penjelasan sesuatu. Kadang ia suka bertanya dalam hati kemanakah dirinya saat pembagian otak? Apa mungkin ia terlambat? Entahlah, ia pun tidak tahu.

Galen pernah bertanya pada sang ibu. Namun, jawaban yang Ia terima adalah 'pemikiran macam apa itu? Tidak ada argumen seperti itu, Galen.'


POSSESSIVE BROTHERWhere stories live. Discover now