Bagian 21

19 3 0
                                    


Kehidupan Dru seakan berubah setelah bersama Wid. Dia sekarang bangun lebih pagi dengan semangat dan senyum cerah yang terus menghiasi wajah tampannya. Ray juga lebih bahagia. Dia selalu tersenyum melihat Dru yang jarang mengerutkan dahi atau bersikap dingin. Rupanya dia sudah lebih terbuka. Bahkan sekarang Dru lebih sering keluar seperti pemuda seumurannya.

Ray percaya, anaknya tidak akan mengingkari janji yang ia buat sendiri. Sekarang, Ray sudah lega. Anaknya sudah merasakan bahwa gak semua orang akan menyakitinya. Ray selalu merasa bersalah selama ini.

Pagi ini, Dru mendorongnya pergi ke taman. Ternyata mereka tidak sendiri, ada Wid yang sudah menunggu di depan pagar dengan sepatu olahraga dan baju senada. Dia memakai topi warna army dan membawa tumbler yang berisi infuse water yang sering Dru lihat nangkring di meja kerjanya.

"Selamat pagi, sahabatku!" teriak Wid ceria sambil melambai tangannya pada Ray. Yang disapa balas melambaikan tangannya sambil geleng-geleng kepala. Ray sudah biasa dengan tingkah Wid yang seperti ini kepadanya.

"Kamu gak nyapa aku?" protes Dru saat mereka sudah berhadapan.

"Hai, pacarku yang baik hati, tidak sombong rajin menabung, dan sayang aku." Wid memamerkan gigi rapinya lalu menggandeng Dru berangkat menuju taman komplek rumahnya.

Ray yang sedari tadi mendengar celoteh Wid membuat dia paham bahwa gadis itu yang mengajarinya untuk bisa seperti ini.

"Dru, kamu gak kasian sama papamu?"

"Kenapa?"

"Masa tiap hari di rumah terus, sih?"

"Lha ini kan keluar?"

"Jauhan dikit, kek!"

"Gak bakalan mau. Papa gak mungkin mau diajakin keluar selain di taman."

"Bagaimana kalau kita taruhan?"

"Buat apa? Gak, ah!"

"Ayo dong! Nanti yang berhasil bujuk Om Ray keluar punya kesempatan traktir sate di taman jajan, bagaimana?"

"Gak bakal berhasil, Wid."

"Cemen, ah. begitu doang gak berani!"

"Oke!" Wid bersorak kegirangan. Dru yakin Wid akan berhasil. Bagaimanapun juga, Wid saja sudah berhasil membuat papanya tidak kambuh lagi asmanya.

"Dru, kamu naik sini!" Ray menyuruh Dru untuk naik ke atas ayunan kayu.

"Ha? Malu, Pa."

"Biasanya juga gak malu?" Dru ingin menjawab lagi saat Wid memelototinya tanda ia harus nurut. Tidak ada pilihan lain, selain menuruti kemauan ayahnya.

Tangan renta itu bersiap ingin mengayun saat tangan Wid ikut membantu mendorong kawat yang menggantung di tengah besi. Awalnya Ray tidak percaya, namun Wid membantu mendorong Dru. Sontak tawa mereka pecah. Ini adalah hal baru di sepanjang hidupnya selama enam belas tahun.

***

Pagi indah itu berakhir dengan makan bubur ayam di dekat taman. Mereka makan dengan sesekali diikuti banyolan Wid yang gak pernah gagal menerbitkan senyum hingga tawa kepada kedua anak-bapak itu.

Pada saat jalan menuju pulang, tiga orang itu masih sesekali tertawa. Seolah tidak ada apapun yang menjadikan tawa mereka lenyap. Begitpun saat berada di pagar yang baru dicat ulang itu.

"Makasih, ya, Wid. Om senang bisa jalan-jalan pagi sama kamu," ucap Ray tulus.

"Kan Wid sudah bilang, yang jadi teman Wid itu Om bukan anaknya," balas Wid dengan senyum lebar sambil melirik Dru yang seperti sudah terbiasa dengan jawaban Wid.

"Mau makan di rumah Om nanti siang?"

"Waaa... siapa ini yang bakal masak? Kalau Om yang masak Wid gak mau."

"Aku," sela Dru sambil menatap Wid.

"Nah, aku kan gak bisa nolak kalau Dru yang minta." Mereka tertawa dengan hanya sebuah candaan ringan seperti ini, sebelum semua lenyap bagai ditelan badai.

"Widuri!" seru seorang wanita setengah baya yang masih sangat cantik dan rapi. Dandannya seperti bukan orang biasa. Bukan seperti ibu-ibu yang sering Dru lihat di komplek sini. Dru melihat raut wajah Wid yang terkejut.

"Mama!" raut terkejutnya berganti dengan senyum lebar. Namun, kakinya masih bertahan di samping Dru tanpa beranjak sedikitpun. Dru bisa melihat bibirnya sedikit bergetar, kakinya berdiri tidak nyaman, wajah Wid berubah pias seperti orang ketakutan. Dari hal ini Dru benar-benar paham seperti apa situasi ini.

Wanita itu berjalan ke arah mereka, walaupun dengan sandal rumahan yang Dru yakin itu adalah sandal yang biasa dipakai Wid, wanita itu bahkan masih terlihat cantik dan makin cantik saat mereka sudah saling berhadapan. Dru tahu pasti apa yang akan ia katakan di saat seperti ini, siap atau tidak, cepat atau lambat dia akan melakukannya juga.

"Wid, Mama panggil malah gak buru-buru datang. Halo, saya Mama Widuri. Baru tiba dari Kalimantan. Mila," Mila mengangsurkan tangannya yang dibalas Ray dengan sama ramahnya.

"Saya Ray, ini anak saya Dru." Ray tersenyum tak kalah hangat.

"Dru," ucap Dru sambil menjabat tangan Mila.

"Kalian kelihatan dekat? Sudah lama kenal?"

"Ma, dia... dia-"

Belum selesai kalimat Wid sudah dipotong, "Kami tetangganya, Tante. Kebetulan juga kami satu kantor walaupun berbeda tim." Dru tersenyum ramah, Wid yang terkejut melebarkan matanya tak percaya. Sedangkan Ray tidak percaya Dru mengatakan hal semacam ini.

"Terima kasih, ya. Sudah mau jadi tetangga Wid. Anak ini memang bandel, gak mau nurut sama orang tua, malah pilih tinggal di sini." Seolah kecewa dengan pilihan Wid yang Dru pun belum tahu apapun tentangnya.

"Tidak apa-apa, Tante. Wid anaknya baik, kok!"

"Baiklah kalau begitu, Pak. Kami mau segera berangkat ibadah minggu. Mohon maaf, ya. Kami pulang duluan." Dru mengangguk sambil memaksakan senyumnya. Sedangkan Ray terkejut bukan main. Pantas saja Dru menjawab demikian rupa, ternyata ini alasannya. Bahkan Ray pikir Dru menjawab itu karena kesenjangan sosial di antara mereka. Ray sudah paham Wid bukan tipe orang sederhana seperti keluarganya. Dengan melihat sekilas mamanya pun Ray paham mereka orang berada. Namun, Dru tidak pernah bercerita sebelumnya tentang hal ini kepadanya.

"Dru, ayo masuk." Ray menyadarkan Dru dari lamunannya. Melihat punggung kecil yang terus menunduk itu membuat hatinya seperti diremas-remas. Kenapa semua serba cepat? apa hal yang cepat datang akan cepat juga hilang dan pergi? Begini rasanya kehilangan. Semenjak pertama dia sadar bahwa ia tidak benar-benar memiliki. Jadi, kata kehilanganpun harusnya tidak pantas ia sematkan untuk menggambarkan hatinya saat ini.

Ketika masuk rumah, Dru mengambilkan air minum kepada ayahnya. Seperti tidak ada hal apapun yang perlu dikhawatirkan, anaknya itu masih dingin seperti sebelumnya. Menyiapkan pakaian ganti di kamar Ray lalu masuk ke kamarnya untuk segera mandi.

Sebelum dia benar-benar masuk, Ray menahannya. "Dru," ucap Ray hati-hati.

"Pa, Papa cepat habiskan minumannya terus mandi, ya. Baju Papa sudah basah keringet. Dru gak mau Papa masuk angin terus sakit. Dru mandi dulu, ya. Bye, Pa!" Ray tahu betul anaknya, dia tidak mungkin membuatnya khawatir. Namun, Ayah siapa yang benar-benar bisa dibohongi dalam hal semacam ini. Walaupun Ray tahu, Dru pasti sudah memikirkan apapun sebagai risikonya. Bahkan bila ia harus jadi mamanya.

-------------------------

-------------------------

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
DRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang