Bagian 22

13 3 0
                                    


Widuri duduk gelisah, ia ingin cepat-cepat mengakhiri acara makan malam keluarganya yang bahkan hampir empat bulan tidak ketemu. Ayahnya sedang menceritakan tentang bisnis kepada mamanya yang bahkan ia tidak peduli sedikitpun.

"Kamu kenapa, Wid?" tanya Harja masih dengan mode wibawa yang kental.

"Enggak, Yah," jawab Wid sekenanya, dia pura-pura menyendok spagetthy yang bahkan rasanya mirip buatan Bi Mun, tapi harganya jauh lebih mahal dibanding membuatnya sendiri.

"Bagaimana kerjaan kamu?"

"Lancar, Yah. Bosnya baik, teman-teman Wid juga baik-baik banget."

"Teman?"

"Iya. Wid sudah punya teman untuk pertama kalinya."

"Kamu itu aneh, Wid. Kamu itu harusnya lebih senang berteman dengan orang-orang sekelas kamu. Anak teman Ayah banyak yang seumuran kamu."

"Wid bahagia, Yah. Wid rasa mereka lebih tulus dibanding anak-anak yang suka belanja dan jalan-jalan ke luar negeri tanpa punya value hidup."

"Wid!" Mila terdengan memperingatkan.

"Kamu sepertinya menikmati pekerjaanmu?"

"Tentu. Wid bahagia banget, mereka menganggap Wid sebagai orang normal tanpa status 'anak orang kaya' yang biasa Wid temui."

"Mereka gak tahu kamu anak keluarga Harja?"

"Kemarin sih, belum. Gak tahu besok. Aku rasa mereka juga sudah tahu kalau aku anak orang kaya, tapi mungkin mereka gak tahu aku sekaya ini. Lagian yang kaya kan Ayah, bukan Wid."

"Kamu sudah besar, Wid. Ayah gak mempermasalahkan status sosial. Siapapun yang dekat dengan kamu itu hak kamu. Kamu juga boleh menyukai orang yang sederhana asal dia pekerja keras. Namun, Ayah tidak mentolerir kamu pacaran dengan seseorang yang berbeda keyakinan dengan kita. Ayah tahu, kamu juga pasti paham. Ayah selalu memandang semua manusia sama, tapi Wid Ayah harus punya mantu yang sejalur dengan kita, yang berdoanya sama. Kamu paham, Wid?" Wid mengangguk. Mati-matian dia tahan air mata yang ingin jatuh ke pipinya. Dia paham keluarganya memang tidak seburuk yang orang lain pikir, tapi Dru bukan termasuk di antara yang diperbolehkan ayahnya.

Walaupun dia sudah mempersiapkannya untuk menghadapi ini cepat atau lambat, nyatanya semua yang dihadapi jauh lebih sulit dari bayangannya. Dru sangat baik, dia tidak seburuk kelihatannya, bahkan dia sekarang jauh lebih sering tersenyum. Dia juga peka terhadap situasi dengan mengatakan bahwa mereka adalah tetangga. Dia tahu betul perasaan Dru gak jauh beda dengan yang ia rasakan.

Jam sudah menunjukkan pukul sembilan saat keluarga itu pulang ke rumah Wid yang sangat sederhana. Namun, ayahnya dan mamanya langsung menuju bandara untuk flight paling terakhir hari ini. Pertemuan mereka hanya seperti ini dulu dan sampai sekarang. Tidak ada yang berubah sedikitpun di antara mereka. Wid tidak keberatan, dia sudah terbiasa hidup sendiri dengan para pembantu yang lebih tahu segalanya dibanding orang tuanya.

Dia melambaikan tangannya saat mobil yang dikendarai orang tuanya pergi. Saat mobil sudah berbelok di pertigaan, ia tidak jadi masuk ke pagar rumahnya. Dia harus minta maaf kepada Dru. Sebelum masuk, dia menghubungi nomor Dru tapi cowok itu tidak mengangkat telponnya. Dia berhenti di percobaan ke empat. Dengan lemas, dia berbalik lalu tertahan saat suara hangat yang ia sukai itu menyapanya.

"Sudah pulang?" tanya Dru sambil celingukan melihat mobil orang tua Wid yang sudah tidak ada. "Mana orang tua kamu?" mata Dru beralih ke Wid yang masih menatap Dru dengan tatapan yang sulit diartikan, "hey, kenapa? Kenapa nangis?"

Tanpa mengatakan apapun, Wid langsung memeluk tubuh Dru. Hatinya terasa sangat sakit ketika cowok yang berhasil merebut hatinya itu mengatakan hal itu dengan santai. Dia memang sudah menjadi pelakon yang professional untuk menutupi bagaimana perasaannya. Walaupun di mata Wid, Dru selalu gagal menutupi hal tersebut.

Wid melonggarkan pelukannya saat dia merasa sudah lebih tenang. "Maafin aku," dia mengusap air matanya. Dru terkekeh pelan, walaupun hatinya juga sama hancurnya, mereka paham dan mencoba siap dengan apapun yang Tuhan putuskan.

"Aku gak papa, Wid."

"Aku serasa jahat banget sama kamu."

"Kita sama-sama tahu ini adalah risiko yang harus kita hadapi, all be fine."

"Aakk!! Aku gak bisa berenti nangis, ini." Wid mencoba mengusap air matanya dengan berada di dalam sling bagnya.

"Padahal kamu cantik banget, loh malam ini. Gak kaya pacar aku yang biasanya."

"Memang pacar kamu ada berapa?"

"Baru satu, sih sekarang."

"Rencananya?"

"Gak ada rencana, soalnya satu saja ribet ngurusinnya."

"Gak ingin selingkuh?"

"Mana berani aku? pacar aku saja galak!" tangan Wid sudah mampir ke perut Dru, yang dicubit malah ketawa mencoba mengelak dari cubitan Wid.

"Enak saja! mau digalakin sekarang, hah!?" saat Wid masih ingin menyerangnya dengan cubitan-cubitan, Dru menahannya, mata mereka saling tatap, seolah menceritakan bagaimana perasaannya. Jantung yang berdetak lebih kencang dari suara angin yang menyapu wajah mereka.

"Wid, jika suatu saat Tuhan sudah memberi jawaban atas banyak hal yang kita risaukan selama ini, kamu sudah siap, 'kan?"

"Apa maksud kamu?"

"Wid, kamu tahu? Aku adalah seorang muslim yang entah bahkan kau anggap aku seorang pengecut, tapi aku tetap belum bisa memutuskan masa depan dengan siapapun. Apa kamu masih mau mengikuti arus bersama seorang pengecut sepertiku?"

"Aku bisa, Dru."

"Aku akan membiarkanmu jika suatu saat nanti kamu punya keputusan yang terbaik. Namun, selama semua masih bisa dijalani aku maunya kamu, Wid. Aku gak memaksa kamu buat ikut aku, tapi kalau kamu mau aku gak akan biarkan kamu sama siapapun kecuali aku."

Dru bisa merasakan tubuh Wid gemetar, wajahnya sudah penuh dengan air mata, diusapnya pelan pipi halus itu. Rambut dengan wangi strawberry yang selalu membuatnya rindu setengah mati. Mata bulat yang selalu jujur. Tubuh mungil yang selalu kesepian. Dia bisa merasakan hanya dengan usapan halus di pipinya.

Dru mendekatkan wajahnya ke wajah manis gadis di depannya ini. Menyesap banyak-banyak aromanya, merasakan setiap jengkal yang ada di dirinya, mengabsen setiap dari dirinya yang membuatnya setengah gila. Bahkan jika ia bisa menghentikan waktu, ia akan menghentikannya saat ini. Melepas Wid ternyata lebih sulit dari bayangannya. Bahkan sekarang ia sudah di fase tidak ingin melepasnya.

Satu di antara dari sekian hal yang kemungkinan bisa mengubah mereka adalah takdir. Menjalani hubungan sebelum pernikahan dengan orang yang berbeda keyakinan memang tidak semudah yang dikatakan banyak manusia untuk saling menerima dan menghormati. Namun, banyak hal yang sejak awal sudah tidak sejalan. Walaupun dia ingin sekali membenarkan bahwa manusia sama, hanya cara berdoa saja tetap banyak di antara detail kehidupan yang memang sudah bersebrangan.

Dulu, Dru tidak ingin menikah. Dia akan hidup menua dengan ayahnya. Namun, kedatangan Widuri membuat banyak perubahan pemikiran. Termasuk tentang masa depannya yang berkaitan dengan pernikahan. Untuk pertama kalinya ia ingin menikah. Menikah sekali seumur hidupnya. Mencintai pasangan dengan kesederhanaan dengan cinta luar biasa. Dia ingin mengubah apa-apa yang ditinggalkan mamanya. Dia ingin menyembuhkan lukanya dengan satu wanita yang benar-benar mengerti dirinya.

Sekarang, apa dia akan berdosa jika satu-satunya wanita yang ia inginkan adalah gadis mungil yang sekarang ada di depannya? Jika melawan Tuhan tidak ada imbalan dosa, mungkin sekarang ia akan berlari sekuat tenaga untuk pergi membawa cinta mereka ke panggung keseriusan yang kenyataannya tidak akan pernah ia lakukan.  

DRUWhere stories live. Discover now