Bagian 2

140 4 1
                                    

Hari ini hari minggu, seperti minggu-minggu yang telah ia lewati, Dru keluar rumah dengan mendorong kursi roda Ray. Mengajak keluar laki-laki yang pernah gagah dan keren di masa mudanya itu memang menjadi hal yang wajib untuk dilakukan.

Lihat betapa senyum lebar yang papanya perlihatkan itu dengan mudah membuat hati Dru menghangat. Hidup berdua seperti ini sudah cukup. Dia tidak perlu lagi menambah masalah karena keegoisan dirinya yang mungkin tidak dia lakukan.

Darko mungkin mengetahui tanpa Dru cerita pun dengan papanya. Tapi, kami hanya membisu seolah semua baik dan semua yang ada di diri ini berharap lenyap dan tidak menunggu waktu untuk meledak.

Saat di taman seperti ini mungkin dia akan mencuri pandang seorang Ibu yang mengayun ayunannya, Ibu yang sedang menyuapi anaknya, bahkan sedang memeluk anaknya karena bisa meluncur dengan sepatu rodanya.

Ah, hanya di sini senyumnya bisa benar-benar terlukis. Bohongnya dia suka melihat anak-anak disayang ibunya, jujurnya dia merindukan mamanya juga. Entah dia akan bertemu lagi dengan wanita yang melahirkannya itu atau sama sekali gak akan bertemu seumur hidupnya.

"Dru, kamu dulu paling suka papa ayun, 'kan?" tiba-tiba Ray mengucapkan sesuatu yang sentimentil untuknya, karena akan membuat ia mengingat wanita itu.

"Iya, Pa," Dru masih berharap papanya tidak akan melanjutkan percakapan ini.

"Kamu mau Papa ayun di situ? Nanti kamu yang naik, Papa bisa, kok pelan-pelan."

"Pa-"

"Kesana yuk, Dru." Dia tahu, dia tidak bisa menolak permintaan papanya yang amat sederhana untuk orang lain tapi berat untuk dirinya.

Sebuah ayunan berwarna coklat itu bergerak pelan, tangan lemah papanya mendorong sisinya, sembari kakinya ikut mendorong ringan supaya Ray tidak terlalu berat mengerjakannya.

"Dru, dari dulu kerja emangnya temanmu cuma Si Item doang?"

"Si Item?"

"Dark-o!"

Dru tertawa mendengar perumpamaan papanya itu. "Dia kan putih, Pa."

"Iya, dia baik Papa tahu. Tapi, apa kamu gak punya teman selain dia di kantor?"

"Di kantor rekan kerja, Pa. Bukan teman!"

"Memang gak ada yang mau kamu kenalin begitu sama Papa?" Kakinya spontan memberhentikan ayunannya, matanya terbelalak, bahkan dia tersedak liurnya sendiri. "Santai dong, Dru. Papa kan cuma tanya saja."

"Lagian Papa kenapa tiba-tiba aneh gini, sih?"

"Loh, Papa kan cuma mikir saja. Anak Papa yang keren ini kan sudah dewasa, tapi gak pernah punya teman selain Darko. Berteman, Dru. Mereka gak bakal jahat sama kamu. Ijinkan mereka yang mau berteman denganmu untuk masuk ke kehidupan kamu. Apa yang kamu takutkan gak akan terjadi sama kamu. Percaya sama Papa, Dru."

"Pa, kayaknya mendung. Kita pulang, ya." Ray hanya menghela nafasnya, lalu mengangguk dan tersenyum kepada anak yang menjadi kebanggaannya itu.

Dru tahu, papanya akan kecewa dengan sikapnya yang seperti ini. Tapi, dia juga harus realistis dengan perasaannya sendiri. Dia gak mau menambah masalah dalam hidupnya.

Setelah sampai rumah, Dru berbalik sebelum meninggalkan papanya, "Pa, Dru akan coba." Dan kalimat itu membuat Ray tersenyum lega. Dia tidak mau menjadi sumber kegelisahan untuk anaknya. Dia hanya meyakinkan anaknya itu, bahwa semua akan baik-baik saja. Dan berteman tidak akan menyakitinya, seperti ibunya menyakitinya.

***

Bunyi antara panci dengan spatula terdengar nyaring. Sudah siang tapi rumah ini terlihat biasa saja gak ada yang menyalakan tv, radio, bahkan mp3 dari handphone. Dru dan papanya sama-sama tahu, hidup di kota memang sangat mahal. Mereka harus ekstra berhemat demi bisa hidup normal, pengobatan papanya adalah yang paling penting.

Kecelakaan yang merenggut kaki papanya juga waktu yang dulu ia gunakan sesuka hati harus rela ia gadaikan demi bisa mengurus papanya.

Tak jarang Dru kekurangan uang untuk bayar terapi, untung saja Tuhan kasih sahabat seperti Darko yang selalu menawarkan bantuan karena tahu Dru tidak akan berani meminjam ke orang lain.

"Dru," Ray keluar dengan kursi rodanya.

"Ya, Pa," Dru menjawab tanpa menoleh pasalnya dia gak mau masakannya berantakan.

"Ke minimarket, Dru."

"Papa pengen apa?"

"Beliin Papa coklat."

"Coklat?"

"Iya."

"Buat apa, Pa?"

"Sudah beliin sana, sama susu UHT ya." Dru semakin dibuat bingung atas permintaan Papanya itu. Tapi, dia tetap pergi tanpa menanyakan banyak hal lagi. Papa bahagia adalah satu-satunya cara untuk mempercepat kesembuhannya. Setelah mematikan kompor dan memastikan semua aman dari hal yang bisa saja mencelakai Papanya, Dru keluar dengan kaos oblong dan celana gombrang selutut.

Jarak rumah dengan minimarket kira-kira seratus meter, tidak jauh memang, jadi dia cukup malas untuk hanya sekedar mengganti bajunya.

Dia menuju rak yang ada coklat di sana, ke belakang untuk mengambil susu UHT. Sebelum dia ke kasir, dia melihat es krim coklat kesukaannya dulu. Dia tersenyum, sudah lama tidak makan es krim. Di umurnya sekarang rasanya es krim terlalu kekanak-kanakkan. Tapi tetap, dia mengambil dua es krim corn rasa coklat.

Setelah membayar, dia langsung keluar dan membawa kakinya melangkah lebih cepat untuk segera pulang ke rumah.

"Pa," panggil Dru setelah masuk rumahnya.

"Ya," Papanya muncul dengan senyum sumringah yang selalu ia perlihatkan.

"Ini," Dru menyerahkan satu es krim corn itu ke arah ayahnya.

"Es krim? Hahaha..." Ray tertawa sambil menerima es krim pemberian Dru.

Dru tersenyum, mendorong kursi roda Ray ke beranda yang hanya ada alang-alang dan rumput liar di sepanjang pelatarannya. Dia duduk di samping Ray membuka es krim dan mulai menikmatinya.

"Kenapa tiba-tiba beli es krim?"

"Pengen saja makan es krim sama Papa."

"Anak keren Papa, rambut gondrong, badan macho, masih saja suka es krim. Hahaha..."

"Memang gak boleh?"

"Papa gak bilang gak boleh, ya. Papa suka es krim juga."

"Itu kan, Dru yakin Papa bakalan suka makanya Dru beli."

Tawa mereka pecah bersama. Bak dua orang kawan yang sedang bernostalgia tanpa jujur menceritakan kebenarannya. Ya, mereka hanya merindukan kehangatan keluarga lengkap yang telah lama tidak mereka rasakan.

Jika orang tahu, mereka pikir ayah dan anak ini adalah kawan yang solid, santai, dan bahagia. Padahal mereka hanya memakai topeng untuk menyamarkan rasa sakit yang sudah mematikan hatinya untuk dimasuki orang baru.

Segala tentang masa lalu yang meninggalkan mereka dengan begitu tega telah memberikan sakit yang entah kapan akan bisa terobati, atau malah semakin menggerogoti hati.

Walaupun sudah berusaha merelakan, kenangan yang mereka paksa dimatikan satu-persatu, nyatanya itu justru membuatnya semakin nyata dan menimbulkan sedikit penasaran. Ada apa? Semua terasa semu untuk seorang Dru.

Keadaan yang berbeda memang menuntut rela. Memaksa bahagia, walaupun di waktu yang berbeda, tempat berbeda, bahkan dengan cara yang berbeda.

Ditinggalkan dengan alasan tak cukup memberi memang bukan alasan masuk akal yang selalu Dru pikirkan. Sayangnya di antara mereka sudah menutup rapat-rapat pintu tanpa memberi kesempatan untuk seseorang yang berniat menyembuhkan.

Satu es krim coklat siang ini membawa mereka pada kenangan pahit masa lalu yang harusnya tidak datang kembali. Satu lagi, mereka mencoba menutupi walaupun gagal untuk tidak diakui.


---------------------------------------------------

Duh, hari ini sedikit panas. 

Enggak tahu, kadang suka gemes sama diri sendiri. Tinggal nge klik tombol publish aja harus nunggu berhari-hari. Maafin, ya. 

Semoga suka!

Love,

Rina 

DRUWhere stories live. Discover now