Bagian 8

78 4 2
                                    

"Dru anak Mama yang baik, keren, dan soleh. Mama hari ini akan berangkat bekerja, kemungkinannya Mama gak setiap hari bisa pulang. Dru sama papa dulu, ya?"

"Tapi, Ma. Papa gak bisa masak. Dru ingin makan sate buatan Mama."

"Mama gak akan lama, Dru."

"Apa Mama bisa janji?"

"Tentu, Mama sayang anak Mama."

"Dru pasti akan merindukan Mama."

"Jika suatu hari nanti Mama lama kembalinya, pasti pas kita ketemu Mama akan jelasin semua alasannya sama Dru."

"Dru sayang Mama."

"Mama juga, Sayang." Sebuah pelukan yang lama-lama semakin mengendur-mengendur kemudian menjauh lalu menghilang di ruang gelap mimpi yang tidak ingin menepati janjinya.

Dru terbangun, matanya nyalang menatap langit-langit kamarnya. Entah seperti apa, mimpi sialan itu tidak pernah absen mengganggu tidurnya. Dia benci mengatakan ini, tapi rindunya kepada Mamanya sudah berganti jadi benci. Benci yang berawal dari sebuah ingkar yang tidak pernah ditepati.

Kesulitan demi kesulitan ia dan Ray rasakan sendiri. Tidak ada sosok wanita satupun yang dekat dengan Ray. Begitu juga dengan Dru. Pandangannya terhadap wanita seolah sudah memudar. Kelembutan, kejujuran, kehangatan yang lekat dengan peringai perempuan sama sekali tak pernah ia rasakan.

Sisa-sisa kenangan kepergian mamanya lah yang selalu datang. Jikalau dia bisa meminta, dia ingin melihat mamanya sekarang, mengetahui keadaannya, dan melihat kebenarannya.

Tapi Tuhan tidak mengijinkan. Mungkin belum membutuhkan atau memang Tuhan belum mengijinkan. Entahlah, tapi dia selalu mempersiapkan kemungkinan terburuknya. Lebih membenci mamanya atau malah menyesal karena sempat membenci mamanya.

Dru beranjak dari tidurnya. Pergi ke kamar mandi untuk sekedar cuci muka dan menggosok giginya. Selesai melakukan ritual paginya, dia pergi ke kamar Ray. Tapi, dia tidak melihat Ray di sana. Di dapur mungkin, pikirnya. Lalu dia menuju dapur, tapi tetap tidak menemukannya. Dru mulai panik, dia mencari di penjuru rumah tapi tetap tidak menemukannya. Dru keluar, dia juga tidak menemukan papanya itu.

Dru masuk lagi, mengambil jaket, handphone, dan dompetnya lalu keluar, mengunci rumahnya dengan panik. Saat ia keluar gerbang, betapa terkejutnya ia melihat Papanya tertawa dengan riang bersama Widuri.

Ya, Widuri.

Entah apa yang mereka bicarakan, papanya itu terlihat sangat bahagia pagi ini. Pandangannya bertumbuk pada bunga-bunga yang ada di pangkuan Ray. Mungkin mereka tidak sadar kehadiran Dru.

Tawa papanya kenapa terasa lebih jujur dibanding ketika bersamanya. Jujurnya adalah hatinya menghangat melihat pemandangan ini.

Keriput di sekitar mata, bisanya basah karena diam-diam menangis. Tapi, sekarang bahkan Ray tertawa sampai matanya basah.

Widuri menyadari kehadirannya saat mata bening itu bertubrukan dengan mata Dru. Widuri sempat terlihat terkejut, lalu ia dengan cepat menetralkan keterkejutannya.

Mungkin karena Widuri diam, Ray menyadari sesuatu. Dia melihat anaknya mematung di depan pagar rumahnya. Ia tahu, Dru akan marah. Tapi, dia juga harus memberi kesempatan untuk orang lain yang benar-benar tulus berteman dengan anaknya. Dia melihat itu pada Widuri.

"Dru," kata Ray selanjutnya. Dru hanya diam melihatnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Dru, maafin Papa tadi kamu tidurnya pules banget, Papa gak tega bangunin kamu buat pamit. Kebetulan hp Papa lupa diisi batrainya. Maafin Papa, ya?" sekarang Ray sudah ada di depan Dru. Tapi, Widuri tidak beranjak satu sentipun.

DRUWhere stories live. Discover now