Bagian 26

15 3 0
                                    

Hi, sehat-sehat kamu di mana pun kamu berada. Jangan lupa pakai masker, ya.

With love,

Rina

-------------------------------

Mungkin hormon endorfin sedang banyak-banyaknya. Di sela mereka bercerita, rasa kantuk menyerang tiba-tiba. Belum ada yang memakan satai goreng yang susah payah dibuat oleh Bi Mun ternyata belum tersentuh sama sekali.

Jangan berpikir macam-macam, setelah pengakuan Dru semalam rasanya Wid sangat bahagia. Ia tahu kalau ini posisi yang tidak menguntungkan untuknya. Namun, hanya berpelukan tidak akan kenapa-napa, kan? pikirnya kemudian.

Jam weker di nakas berbunyi nyaring sekali. Ia melihat pukul setengah tiga pagi. Untuk apa Dru bangun pukul segini? Ia bahkan masih mengantuk sekali. Saat ingin membangunkan Dru, ternyata cowok itu sudah tidak ada di kamarnya. Apa dia bermimpi tidur sendirian di rumah Dru? Dia meneliti lagi detail sprei, lemari, bahkan satu poster yang meyakinkan bahwa ini bukan kamarnya.

Widuri bangkit, sebelum menginjak lantai, ia melihat satu gelas air putih yang ia yakini ini untuknya. Dru dan segala hal manis yang ia punya. Bahkan sesuatu yang kecil seperti ini mampu membuat hatinya menghangat.

Dia beranjak, mendorong pintu kamarnya hati-hati. Ada selimut dan bantal di sofa, bukan, bukan itu yang menjadikan hatinya berdebar hebat. Cowok yang ia cari berdiri di sana, menghadap ke arah barat, dengan sarung dan alas yang ia tahu bernama sajadah. Satu titik bening tiba-tiba jatuh tanpa permisi.

Ia melangkah mundur dengan hati-hati. Lima menit yang lalu dia sangat bahagia karena menemukan Dru yang mencintainya. Namun, sedetik yang lalu ia seperti ditampar dengan keras akan fakta antara ia dan Dru. Agama.

Baginya, mungkin hidup bersama agama yang berbeda tidak akan menjadi masalah. Dia akan menghargai apa pun yang Dru lakukan, seperti saat ini. Orang tuanya mungkin akan menentang, marah-marah sebentar lalu luluh dengan rayuan, dan mata puppy eyes yang selalu bisa membuat orang tuanya luluh.

Tidak dengan Tuhan. Tidak ada yang berani melawan-Nya. Apa pun yang kita lakukan adalah sebuah perjalanan dan kesempatan dari-Nya. Jantungnya berdebar hebat, dia masih di belakang pintu, sayup-sayup dia mendengar suara tangis. Apa Dru menangis? Apa yang ia panjatkan? Yang Wid tahu, adalah salat Subuh biasanya pukul setengah lima pagi. Ini masih dini hari dan dia bangun untuk beribadah.

Setelah tak ada lagi suara isakan, dia paham kalau Dru sudah selesai. Mungkin dia akan bertanya setelah ini.

"Kamu sudah bangun?" Suara itu muncul bersama deritan pintu kamar yang terbuka.

"Iya. Tadinya mau bangunin kamu. Eh, sudah bangun duluan." Wid masih belum berani menatap Dru, matanya masih melihat jari-jari tangan yang ia mainkan. "Kamu tidur di sofa?"

"Tentu saja, Wid. Aku laki-laki normal. Kita belum menikah, gak boleh tidur bareng." Wid hanya mengangguk saja. pikirannya belum kembali dari keterkejutan yang ia temukan barusan. "Kenapa?"

"Om Ray, ke mana? Kenapa dari kemarin aku tidak melihatnya?"

"Papa ada di kamar. Belum bangun."

"Dari semalam?"

"Semalam sempat ke luar menanyakan kamu dan menanyakan apa aku sudah sehat."

"Syukurlah. Aku takut Om Ray keberatan aku menginap di sini."

Kamu gak lihat handphone?"

"Ada apa dengan handphone?"

"Gak apa-apa. Kamu mau tidur lagi?"

"Aku mau masakin kamu sarapan sama buat bekal kita, boleh?"

"Bisa?"

"Jangan salahkan aku kalau kamu ketagihan. Ya, walaupun hanya nasi goreng putih?"

"Aku akan memakannya."

"Sungguh?"

Dru menarik tangan Widuri, menyeretnya masuk kamar mandi. "Mending kamu sikat gigi, terus cuci mukamu." Dru berbalik sambil tertawa lebar. Sedang Widuri ingin tenggelam saja karena sungguh ia malu sekali.

***

Jam masih menunjukkan pukul lima pagi. Setelah selesai salat subuh, Dru membantu Wid menyiapkan keperluan memasaknya. Dru bertugas memotong wortel, kol, sosis, dan ayam. Sedangkan cewek itu terlihat fokus sekali menyiapkan bumbu dengan sesekali melihat handphonenya. Dru tersenyum samar. Dia senang, senang Widuri bersamanya. Dia tidak tahu sampai kapan Tuhan akan berbaik hati.

Dengan gaya khas orang yang jarang sekali masak, tidak bisa masak, berusaha masak, Widuri berusaha keras agar masakan pertamanya enak. Dru yang menikmati pemandangannya pagi ini tersenyum diam-diam.

"Taraaa!!!" seru Widuri membawa satu piring nasi ke meja makan. "Bagus, ya warnanya. Aku gak berani nyicipin tadi, tapi aku yakin enak." Wid tersenyum lebar ke arah Widuri. Sedangkan Ray mengirimi pesan ke Dru bahwa ia tidak ingin makan terlalu pagi hari ini. Dru tahu, ayahnya itu tidak ikut karena ingin memberi waktu berdua untuk mereka. "Om Ray gak kamu bangunin?"

"Ini," Dru mengacungkan hapenya yang disambut senyum malu-malu ke arah Dru. "Ya sudah, kita makan duluan."

"Cobain dulu, aku takut gak enak."

"Pasti enak. Kamu sudah berusaha."

"Makasih. Oh iya, aku mau tanya boleh?"

"Hm ...."

"Kamu kemarin kenapa?"

"Aku berantem sama Papa."

"Kenapa?"

"Papa ngasih tahu kalau seseorang menghubunginya, sampai datang ke rumah. Katanya dia tahu di mana Mama. Namun, Papa gak mau percaya dan dia gak mau nemuin Mama. Aku sempet cari tahu di hp nya. Kata Papa ada yang menghubunginya dan mengaku Mama sakit. Entahlah, aku gak mau mikirin itu kali ini. Aku sudah nganggep dia gak ada. Misal dia benar datang mungkin aku akan percaya. Namun, dia buat apa menyuruh orang untuk datang seenaknya menyuruh kami repot-repot datang. Kami tidak butuh."

"Apa mobil waktu itu?"

"Hm ... aku curiganya, iya."

Setelah mengatakan itu, Dru benar-benar merasa sedikit lega, ia teringat kemarin siang dia dan ayahnya bertengkar hebat. Semua hal mungkin belum diceritakan, tapi intinya memang seseorang yang menghilang itu menyelinap masuk ke permukaan. Begitu ayahnya berkaca-kaca, ia tahu bahwa laki-laki itu lebih sakit dari pada dirinya.

Walaupun tidak sampai menceritakan dengan detil, dia tahu akar masalahnya selama ini.

"Bagaimana rasanya?" Wid mencoba mengalihkan arah pembicaraan mereka.

"Not bad. Untuk percobaan pertama." Dru tersenyum tulus, walaupun sedikit asin dia tetap menikmatinya pagi ini.

Saat sarapan mereka sudah selesai, Dru mengantar Wid pulang ke rumahnya. Walaupun dia tahu akan ada hal lain yang ia harus temui pagi ini. Dia merasa harus meminta maaf. Dia tidak mau cap pengecut terpampang di wajahnya.

"Aku bisa pulang sendiri, Dru. Rumah kita dekat."

"Aku ingin mengantarmu, apa tidak boleh?"

"Kenapa? Kita hampir terlambat."

"Aku bisa menyiapkannya lebih cepat."

"Dru ..." ayolah Widuri mungkin mamamu sebentar lagi akan ke luar dan mengintrogasimu.

"Sampai depan pintu, Wid." Akhirnya, Wid mengalah. Ia tahu kepala laki-laki itu benar-benar lebih keras dari kepalanya. Wid mengamit lengan Dru dengan suasana hati bahagia. Sampai di depan pintu, Wid merasa Dru mencari sesuatu.

"Aku sudah di depan pintu, kamu pergi, gih! Aku tunggu buat berangkat bareng. Setengah jam lagi, oke?"

Dru tersenyum, semalam ia melihat seseorang yang ia yakini adalah mamanya Widuri datang. Ia menunggu wanita itu ke luar. Namun, ia tidak ke luar. "Ya sudah, masuk gih. Hubungi aku kalau sudah siap."

"Iya, bye!" Widuri tersenyum mengembang. Dru sudah berbalik sambil melambaikan tangannya. Dia masuk ke dalam dengan hati bahagia. Sebelum sebuah suara penuh penekanan menghancurkannya secara tiba-tiba.

"Dari mana kamu Widuri Putri Harja?!"

DRUWhere stories live. Discover now