Bagian 28

15 3 0
                                    


Hari setelah pertemuannya dengan orang tua Widuri, Dru lebih terlihat diam. Dia hanya duduk di kamar saat Wid datang. Dia bahkan tidak ke luar saat Wid memintanya mengambilkan panci teflon yang Dru letakkan di kabinet paling atas.

Wid memang datang pagi-pagi karena takut mood kekasihnya itu memburuk saat apa yang mereka bicarakan kemarin dengan orang tuanya.

"Dru," ucap Wid di depan pintu kamar Dru, "aku boleh masuk?" tidak ada jawaban di dalam. Dia penasaran apa yang cowok itu lakukan di dalam. Dia membuka pintu pelan, gesekan antara pintu dan lantai yang menghasilkan deritan membuat cowok itu menoleh. "Gak papa, 'kan?"

Dru bergeser, memberi tempat untuk Wid duduk. "Pagi banget?" tanya Dru sambil melihat Wid yang masih saja memandangnya. "Kamu capek?" tanya Dru lagi sambil memegang tangan Wid.

"Maafin aku, Dru."

"Kamu tadi masak?"

"Dru,"

"Baunya kamu bikin spagethy? Kamu gak mau ngajakin aku makan?" Dru bangkit, menarik tangan Wid lalu mendorong punggungnya ke luar dari kamar. Suara deritan kursi membawa Wid duduk di sana. Dru tersenyum ceria. "Kamu tadi bisa ambil pancinya? Setauku ada di atas?"

"Pakai bangku tadi."

"Maafin aku, Sayang. Mungkin tadi aku gak dengar."

Dru, kenapa kamu bersikap seperti ini? Semakin lebar senyummu semakin dalam rasanya luka yang harus aku rasakan. Kamu selalu nomor satu dalam hal menyembunyikan kesakitanmu, membalut lukamu dengan topeng yang orang lain tak bisa menyadarinya. Namun aku justru melihatnya sebagai 'semuanya karenaku'.

"Mau bawa aku ke taman?"

"Boleh."

"Ajakin Papa kamu."

"Kenapa harus sama Papa?"

Wid kembali terdiam, hingga kini Om Ray memang belum tahu mengenai dirinya. Dia harus mulai dari menyiapkan diri untuk mengatakan siapa dia, keluarganya, dan agamanya. Siap tidak siap, cepat atau lambat semuanya akan ketahuan juga. Yang perlu ia pikirkan adalah berusaha tidak kehilangan Dru. Dia sudah jatuh cinta di tahap tidak rela Dru bersama yang lain.

"Kita sudah lama gak ngajakin Om Ray jalan-jalan. Aku rasa sudah waktunya, 'kan?"

"Emmm ... iya juga, ya? Pacarku memang lebih banyak tahu." Tangannya terulur mengusap rambut Wid sayang. Dia tidak mau menyakiti gadis ini, banyak hal yang mungkin akan membuat Wid terluka, tapi ia tidak mau jadi salah satunya.

Dru beranjak, masuk ke kamar ayahnya. "Pa, ke taman mau?" tanya Dru.

"Kamu gak pergi sama Wid?" balik bertanya.

"Besok, Pa. Aku perginya besok."

"Boleh."

"Yuk!" Dru membantu ayahnya naik ke kursi rodanya. Hati-hati sekali seolah ia takut akan menyakiti ayahnya.

Tiga orang berbeda umur itu berjalan bersisian dengan Dru mendorong kursi roda ayahnya. Dru diam, hanya sesekali menyahut perbincangan mereka. Seolah Wid menjadi Wid yang cerewet seperti biasanya. Ayahnya yang sesekali tertawa membuat Dru semakin merasa bersalah.

Mereka memilih duduk di bangku taman, Ray membelakangi mereka. Dru diam, dia pura-pura memandangi anak-anak yang bermain sepatu roda.

"Om, Wid mau mengatakan sesuatu," ucap Wid tiba-tiba. Dru yang terkejut dengan keseriusan Wid.

"Kamu mau ngomong apa sama Papa?" Dru melotot tak percaya bahwa pertanyaannya Wid abaikan.

"Boleh, ada apa Wid?" Ray terlihat ingin memutar rodanya. Namun, Wid menahannya.

"Lebih baik seperti ini, Om." Dengan begini menurutnya ia tidak akan melihat perubahan ekspresi Ray.

"Oke, baiklah."

"Wid?" Dru mencoba memperingatkan.

"Om, Wid mau mengaku." Dia menjeda kalimatnya, "Wid sedang pacaran sama Dru, Om."

Ray terkekeh pelan, "Wid, kamu itu ngerjain, ya? Om sudah tahu tanpa Dru beritahu pun."

"Wid sayang sama Dru, Om. Banget!" dia melirik Dru yang menggelengkan kepalanya. "Wid ingin bisa sama-sama Dru terus. Kayaknya Wid sudah jatuh cinta banget sama Dru." Dia tersenyum miris, "kalau misalkan Wid sama Dru, apa Om merestui kami?"

"Tentu saja! Apa pun untuk anak keren Papa." Ray menepuk punngung tangan Dru yang ia letakkan di handle kursinya. "Kalau Dru bahagia, Papa jauh lebih bahagia." Ray terkekeh kembali.

"Apa pun yang terjadi?"

"Memang apa yang mau terjadi?"

"Om, Wid tahu Dru adalah muslim yang taat. Wid sayang dia, Om." Dia memilin jarinya ragu. Dia ingin tidak mengatakan ini, tapi dia sudah ingin sekali mengetahui apakah responnya akan sama dengan orang tuanya. "Wid berbeda dengan Dru, Om. Cara beribadah kami beda."

Ray terdiam, dia tahu apa yang gadis itu maksudkan. Matanya ia katupkan, mencoba menghirup udara banyak-banyak. Dia mengingat banyak hal tentang apa yang terjadi dulu dengannya. Gelisah tiba-tiba menyerangnya.

"Saya akan ikut apa yang jadi kemauan anak Om, Wid. Jadi, tanyakan itu dengan Dru." Ray menghela napasnya pelan. "Dru antar Papa pulang, Papa sudah lelah."

Dru menatap Wid dengan tatapan yang sulit diartikan. Dia berdiri dari duduknya, tangannya sudah siap mendorong kursi roda ayahnya saat matanya melihat Wid masih menunduk dan tak kunjung bangkit, tangannya terulur menyentuh tangan Wid yang sudah basah yang ia yakin karena air matanya. "Yuk!" Wid mendongak, dia semakin sakit melihat apa yang Dru lakukan.

Mereka berjalan pulang, berbeda dengan waktu berangkat tadi, semua diam. Tidak ada yang memulai percakapan. Wid merasa sangat bersalah kepada Dru.

Sedangkan Dru hatinya seperti tercabik-cabik karena apa yang Wid katakan dengan ayahnya. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana ia merasa sangat beruntung karena mendapatkan cinta sedalam Wid mencintainya untuk pertama kali.

Saat sudah masuk rumah, Dru meninggalkan Ray sendirian. Dia mengajak Wid pulang ke rumahnya. Untuk pertama kalinya ia masuk ke kamar gadis itu. Mereka duduk bersisian, belum ada yang mulai percakapan di antara mereka.

"Wid, kukira kamu sudah paham," ucap Dru tiba-tiba.

"Tidak adil kalau hanya orang tuaku yang tahu, kan?"

"Ya, itu benar. Wid, aku mau mengakui kalau aku sayang kamu karena kamu bisa buat Papa tersenyum lepas. Aku belum memikirkan diriku sendiri saat itu," ada nada menyesal dalam kalimatnya, "tapi sekarang, aku seperti orang gila saat aku lama tidak mendengar suaramu." Dru mengusap pipinya lembut. "Wid, kita sama-sama tahu seperti apa kondisi kita, waktu kita, apa pun mengenai hubungan ini. Aku mohon, izinkan dirimu untuk berbagi waktu denganku sebelum aliran air ini bermuara. Aku takut dengan Tuhan, sangat," katanya lirih nan menyayat, "tapi aku cinta kamu. Aku mau kamu, Wid."

"Kalau begitu ayo jalani ini dengan seperti ini."

"Aku gak bisa memaksamu untuk seperti aku, aku juga gak akan bisa sama sepertimu. Beri waktu untuk kita, Wid. Jangan sudahi sekarang."

"Aku tidak mengatakan itu, Dru."

"Orang tuamu tidak akan memberi waktu kita lama, bukan. Tuhan."

"Aku harus bagaimana, Dru? Aku mesti bagaimana?!" tangisnya pecah, di antara mereka hanya ada pelukan, seperti berbagi beban yang seolah kian lama kian besar.

Dru mengendurkan pelukannya, menatap wajah Wid dengan sendu, bibirnya mengecup pipi basah itu, mencium mata yang terus berair karenanya, melumat bibirnya dalam dan lembut. Dia hanya ingin bersama gadis ini. Walaupun hubungan ini sebenarnya tidak benar-benar di mulai sejak awal.

Di dalam hatinya berkata pelan, "Tuhan, beri kami waktu sebentar lagi. Seenggaknya untuk menciptakan bahagia yang kami tahu cepat atau lambat akan berakhir." Dia menunduk, menyembunyikan air mata yang entah kapan datangnya ia tidak sadar.

--------------------------

Sudah malam, semoga hari ini lebih menyenangkan.

Salam,

Rina penulis amatir yang lagi ngantuk berat.

DRUWhere stories live. Discover now