Epilog

6.4K 452 33
                                    

Ragil berdiri tengah-tengah jalan bersalju. Tangannya meraih kamera lalu mulai mengambil beberapa foto. Sayangnya meski sudah berulang kali dia tidak juga mendapatkan hasil yang bagus.

"Need help?" tanya seseorang.

Ragil menoleh, terkejut melihat siapa yang bertanya. "Karsa? Sedang apa lo di sini?"

Karsa tersenyum kecil. "Kabar gue baik," jawabnya tidak nyambung. "Gue ada kerjaan di sini."

Ragil tertawa, tidak menyangka akan bertemu dengan teman lama. "Kabar gue juga baik, ngomong-ngomong."

Tatapan Karsa tertuju pada kamera. "Sini gue ambilin foto. Lo pose yang keren."

Anehnya Ragil tidak bisa menolak, dengan sendirinya dia memberikan kamera pada Karsa dan mulai berpose. Gayanya biasa saja, toh yang paling utama juga tempat sekelilingnya.

"Pas banget ada sunset," gumam Karsa seraya melihat foto yang sudah diambil Ragil. "Bukannya ini Italy? Oh, kalau ini ... Barcelona, terus London, Denmark, Swiss, Tokyo, Bangkok, KL, Munchen ... Lumayan banyak."

Ragil mengambil kamera dari tangan Karsa. "Jangan sembarangan liat-liat!"

Karsa memasukkan kedua tangan kedalam mantel. "Lo bener-bener ngewujudin mimpinya Romeo, ya? Buat ngajak Summer keliling dunia? Gue liat lo udah pergi ke banyak tempat."

Ragil menganggukkan kepala. "Mimpi Romeo, mimpi gue juga. Lagian, kerjaan gue mendukung buat keliling dunia."

Karsa tersenyum kecil. "Ke mana lagi habis dari Oslo?"

"Jakarta. Mama udah nanyain terus kapan gue pulang."

Saat itu tatapan Karsa meredup, dia mengangguk sekali. "Buruan pulang sana, sebelum lo nanti kehilangan moment kayak gitu."

Ragil mengerti kata-kata Karsa, sedikit tahu tentang hidup Karsa yang sekarang. "Lo sendiri gimana? Kapan pulang? Nggak capek buat robot terus?" Dia melihat ke sekitar. "Yang gue rasain pas ada di tempat lain adalah pengen cepet-cepet pulang ke rumah."

Karsa tersenyum kecil. "Rumah, ya? Rumah gue udah hilang dari lama, Gil. Makanya jarang pulang ke Indo."

Ragil merangkul bahu Karsa lalu berjalan. "Kabar Karina gimana? Udah taken dia? Atau single? Siapa tau gue ada kesempatan gitu." Dia tersenyum lebar saat Karsa mendelik padanya. "Gue serius, kapan lagi coba bisa masuk ke Alexi Group? Denger-denger dibawah kepemimpinan lo, Alexi jadi makin maju banget."

Karsa mendengus. "Sebenernya bukan karena gue doang, sih. Ada yang lebih pinter dari gue soal bisnis."

"Hah, siapa yang bisa ngalahin lo?!" Ragil menatap teman lamanya tidak percaya, meski sikap Karsa itu aneh pake banget, pemalas lagi, namun entah mengapa otaknya encer luar biasa hingga diusia mudanya Karsa mampu menggantikkan peranan ayahnya memimpin perusahaan sebesar Alexi, bahkan Ragil mendengar dari Haris kalau Karsa juga seorang programer AI dan game.

Karsa menunjuk seorang lelaki yang sedang berdiri menyandar ke pintu mobil. Tatapan dan ekspresi lelaki itu datar, terlalu malah, untungnya wajahnya tampan luar biasa sehingga sikap arogannya sedikit tertutupi.

"Naraka? Ngapain lo datang jauh-jauh ke sini?" tanya Karsa.

Naraka tidak bergerak sedikit pun, fokusnya hanya tertuju pada Karsa dan menganggap Ragil sebagai figuran. "Jemput pedang sa--gue."

Ragil menatap lelaki yang dipanggil Naraka dan Karsa bergantian. Dia bahkan terkejut saat tiba-tiba Karsa berlari lalu menutup mulut Naraka.

"Jangan ngomong sembarangan!"

Tatapan Naraka masih datar. "Gue bicara berdasarkan fakta. Dua tahun lalu, seminggu setelah kematian Cahya, tiba-tiba lo datang terus bilang ke gue: 'Naraka, mau nggak mau lo harus jadi Raja, kan?" Dia meniru cara bicara Karsa dan membuat Ragil terkejut. "'Seorang Raja membutuhkan pedang untuk mendapat kekuasaan. Maka, gue akan jadi pedang lo'."

Karsa menundukkan kepala. "Ngomongnya jangan keras-keras, dong. Gara-gara lo gue jadi nggak punya harga diri di depan Ragil!"

"Memangnya sejak kapan lo punya harga diri?" Naraka balik bertanya dengan nada sinis.

Ragil mengerjapkan mata, ini pertama kalinya dia melihat Karsa sefrustrasi ini. Sepertinya lelaki jangkung di hadapannya ini sedikit berbahaya. Ketika tatapan Naraka tertuju padanya, Ragil merasa seluruh tubuhnya diguyur air es saking dinginnya.

"Jangan melototin Ragil. Dia takut." Karsa memperingatkan.

Ragil bernapas lega ketika tatapan Naraka tidak sedingin tadi, dia berdehem. "Hai, saya Ragil. Teman Karsa. Kamu ..."

"Saya Naraka." Dia melirik Karsa sekilas. "Karsa adalah mantan saya."

Ragil melotot, mantan? Mantan pacar maksudnya?! Sontak saja dia melangkah mundur dan menjauh dari mereka sedikit. Tidak bisa dipercaya bahwa dua cowok ganteng di hadapannya ini rupanya jeruk makan jeruk. Apa kelamaan tinggal di luar negeri membuat Karsa jadi pindah haluan? Atau karena Karsa trauma ditinggal Cahya sehingga menyukai cowok lagi?

"Sialan!" Karsa menginjak kaki Naraka keras-keras.

"Kalau lo lupa, gue nggak bisa rasain apa pun. Percuma lo injak kaki gue sampai gepeng juga."

Karsa melotot. "Koreksi kata-kata lo barusan! Jangan bikin Ragil salah paham."

Naraka melirik Ragil. "Nggak perlu terkejut begitu. Maksudnya, Karsa adalah mantan rekan kerja saya."

Ragil masih belum pulih dari keterkejutan. "Lalu sekarang ...?"

"Sudah resmi."

Tidak hanya melotot, Ragil bahkan menganga.

"Astaga, Naraka!" Karsa benar-benar frustrasi.

"Resmi kembali menjadi rekan kerja lagi maksudnya." Naraka mengimbuhkan dengan wajah tanpa dosa. "Lagi pula, kalau pun saya tertarik pada lelaki lagi. Jelas Karsa bukan tipe saya."

Ragil tidak tahu harus berkata apa, dia mengira Karsa adalah orang paling menyebalkan yang pernah dia kenal, namun rupanya masih ada orang macam Naraka yang lebih menyebalkan hingga Karsa saja terlihat kesal.

Naraka berjalan menghampiri Ragil lalu memberikan sebuah catatan pada lelaki itu. "Jangan peduliin Karsa. Kalau kamu suka sama Karina, kejar lalu dapatkan dia. Jangan ragu-ragu."

Ragil menatap Naraka dan catatan di tangannya dengan bingung.

"Jika kamu mencintai Karina bahkan menikah dengannya, saya yakin, keinginanmu untuk pergi ke berbagai tempat akan cepat tercapai. Minta saja sama Karsa, yakin pasti dikasih. Orang yang punya banyak uang kayak dia sangat wajib diporotin."

"Hah?"

Untuk pertama kali Naraka tersenyum. "Yang saya dengar, Karina sekarang sedang suka melakukan travel ke berbagai tempat. Siapa tahu kalian bertemu di suatu tempat."

Ragil masih belum pulih dari rasa bingungnya, kenapa Naraka bicara seolah-olah dia tahu apa yang akan terjadi di masa depan."

Karsa menepuk bahu Ragil. "Naraka benar. Gue nggak keberatan kalau lo beneran jadian sama Karina asalkan lo bener-bener sayang sama dia. Lagian, sudah waktunya lo berhenti. Romeo sama Summer bakalan kesel liat lo terus-terusan mengabaikan urusan pribadi lo. Utang-utang lo terhadap Romeo, kenapa nggak dianggap lunas aja? Ini waktunya buat lo bahagia."

Kemudian Naraka dan Karsa pergi meninggalkan Ragil sendiri. Matanya menatap serangkaian nomor telepon seseorang yang beberapa bulan ini selalu hadir dalam mimpinya.

"Kami senang kamu mewujudkan mimpi kami. Tapi, Ragil. Kami juga ingin melihatmu bahagia. Jangan jadikan mimpi kami sebagai beban. Ketika waktunya tiba, hiduplah untuk diri kamu sendiri."

Ragil menghela napas panjang saat teringat kata-kata Romeo dulu. Mungkin ini sudah waktunya.

"Gue bersyukur lo mau wujudin mimpi Romeo sama Summer. Selama ini lo udah berjuang keras. Tapi, Gil. Kadang lo perlu istirahat. Berhenti dulu, biarin lo hidup buat diri lo." Haris mendesis. "Tau nggak? Liat lo sekarang bikin gue kasihan tahu!"

Perlahan Ragil melangkah pergi. Mungkin tahun ini Oslo adalah tempat terakhir yang dikunjunginya. Tapi dia pastikan, tahun-tahun berikutnya dia akan pergi kebanyak tempat yang lebih bagus.

Ahh, mungkin lebih bagusnya dia pergi bersama Karina.

***













I'M BROKENWhere stories live. Discover now