17. Alone

5.3K 534 40
                                    

17. Alone

"Selama ini saya nggak pernah lari dari siapa pun. Kamu saja yang nggak pernah sadar bahwa saya ada di hadapan kamu. Selalu."

Sagara - His Half

"Saya sudah ada janji dengan dokter Farhan," kata Mama pada seorang perawat yang berhaga di bagian resepsionis.

"Tunggu sebentar." Perawat itu membuka jadwal dokter Farhan. "Dengan ibu Rosa Setyowati?"

Mama menganggukkan kepala.

"Ruangan dokter Farhan berada di lantai tiga. Perawat lain akan menunjukkan jalan saat Anda tiba di sana."

Buru-buru Mama berjalan ke arah lift, jantungnya berdebar setiap kali kakinya melangkah mendekati ruangan dokter Farhan. Mama menarik napas panjang saat tiba di depan ruang dokter Farhan. Menyiapkan segenap hatinya untuk mendengar hal yang harus didengarkan.

"Selamat siang, Dokter." Perawat menyapa setelah mempersilakan Mama masuk. "Ibu Rosa sudah datang."

Dokter Farhan langsung berdiri, menatap Mama sambil tersenyum. "Anda pasti ibunya Romeo. Sangat senang bertemu dengan Anda. Silakan duduk."

Dengan perasaan tidak karuan Mama duduk di depan meja dokter. "Saya mendapat telepon kemarin. Katanya anak saya belum mengambil hasil pemeriksaan terakhir."

Dokter mengambil sebuah amplop besar dari dalam laci lalu memberikannya pada Mama. "Benar. Tidak biasanya Romeo lupa membawanya."

Mama membuka amplop tersebut, menelan ludah saat susunan kalimat di kertas tersebut tidak dimengertinya. "Bisakah Anda jelaskan apa maksud dari pemeriksaan ini? Tidak. Bisakah Anda beritahu apa yang terjadi pada anak saya sehingga dia harus datang ke sini?"

Kening dokter berkerut samar. "Apa Romeo benar-benar tidak memberitahu Anda mengenai penyakitnya?"

Mama menundukkan kepala. "Romeo ... tidak pernah cerita apa pun. Dia tidak pernah mengatakan apa pun." Suaranya tercekat, perasaan bersalah menghantamnya. Tentu saja! Tentu saja Romeo tidak pernah cerita apa pun karena dirinya tidak pernah memberi Romeo kesempatan untuk bicara.

"Begitu ..." Dokter diam sesaat, tidak percaya Romeo benar-benar tidak memberitahu hal sepenting ini pada keluarganya sendiri.

"Kanker yang diderita anak saya, apa separah itu? Saya dengar kanker pankreas sulit disembuhkan. Tapi, anak saya bisa sembuh, kan? Dia akan hidup lama, kan?"

Dokter melepas kacamatanya, dalam hati tersenyum saat teringat kata-kata Romeo sebelum pergi tentang orangtuanya yang akan bahagia mendengar berita kematiannya. Seharusnya Romeo melihat hal ini, bahwa ibunya terlihat sangat cemas saat mendengar penyakit Romeo.

"Sel kanker dalam tubuh Romeo sudah menyebar hingga ke hati. Tidak ada gunanya melakukan operasi, dikemo pun hanya akan menyakiti Romeo. Yang bisa kami lakukan hanya memperlambat sel tersebut menyebar lebih jauh. Karena Romeo rutin meminum obatnya dengan baik, kondisinya sedikit membaik. Tapi, akhir-akhir ini dia terlihat putus asa."

Mama kehilangan seluruh tenaga saat mendengar kata terakhir dokter.

"Entah karena Romeo merasa stres atau hal lainnya, pemeriksaan terakhir menunjukkan bahwa kondisi Romeo memburuk." Dokter diam sesaat, tampak ragu. "Romeo ... terakhir saya lihat, dia seperti menyerah untuk hidup."

Tanpa sadar air mata membahasahi pipi Mama.

"Jika terus seperti ini, saya ragu Romeo bisa bertahan hingga tiga bulan ke depan."

Kali itu Mama tidak lagi menyembunyikan tangisnya, dia meminta waktu pada dokter untuk menenangkan hatinya yang terasa sakit. Butuh waktu lama agar tangisnya berhenti.

I'M BROKENWhere stories live. Discover now