21. Pulang

5.8K 550 22
                                    

21. Pulang

"Semua yang hidup akan mati kapan dan dimana pun dia berada, jangan sia-siakan waktumu. Cintailah orang yang kamu sayang sebelum dia pergi meninggalkanmu."

About Time

"Mana Romeo?!" tanya Papa begitu sampai di rumah, penampilannya sedikit berantakkan. "Katamu dia sedang di rumah sakit. Katamu dia sakit parah. Kok, sekarang malah ada di rumah?!"

Mama mengambil tas dari tangan Papa. "Romeo maksa ingin pulang tadi siang," jawabnya pelan. "Mau saya buatin kopi atau teh saja?" tanya Mama, sekilas melirik ke arah jam yang menunjukkan pukul sebelas malam. "Sudah makan? Mau saya buatin makanan?"

Papa melambaikan tangan. "Saya tidak butuh minum atau makan, saya butuh penjelasanmu."

Mama menghela napas, jelas suaminya tidak akan langsung percaya dengan apa yang dikatakannya. Dirinya pun jika bukan mendengar langsung dan melihat rekam medis Romeo, pasti tidak akan percaya bahwa Romeo sakit parah.

"Jangan sia-siakan waktu saya hanya untuk mendengar apalagi melihat hal tidak berguna."

Mama mengambil kertas dari dalam laci lalu memberikannya pada Papa. "Saya tidak bohong. Itu hasil pemeriksaan terakhir Romeo."

Papa melihat kertas tersebut, sedikitnya mengerti apa yang tertulis di kertas tersebut. Dia terkekeh sinis. "Pasti Romeo memalsukannya agar mendapat perhatian."

Mama menatap Papa, hatinya kacau balau hingga merasa lelah menjelaskan semuanya pada Papa.

"Jika memang Romeo sakit kanker, sudah pasti dia akan memberitahu kita. Anak seperti dia tidak akan mampu menahan semuanya sendiri. Lagi pula, dari mana dia mendapatkan biaya untuk pengobatannya? Pengobatan untuk penyakit kanker sangat besar, dia tidak mampu menutupinya dengan uang jajan."

Kemudian Mama kembali mengambil sesuatu dari dalam laci, buku tabungan milik Romeo yang dia temukan dalam tas anaknya juga sebuah pesan email yang dia ambil dari akun Romeo.

"Kita sama sekali tidak tahu apa pun tentang Romeo."

Tangan Papa bergetar, bukannya merasa kasihan dia malah merasa marah, tanpa berkata apa pun dia pergi ke kamar Romeo yang terletak di lantai dua.

"Romeo!" panggil Papa dengan nada kesal. Dia menghidupkan lampu, hendak memarahi anaknya karena sudah berani berbohong. Namun ketika dia tiba di hadapan Romeo, seluruh tubuhnya berubah kaku.

Di sana, dia atas ranjang yang kusut, Romeo tengah tidur dengan posisi memunggungi Papa. Suara rintihan terdengar pelan namun begitu menyakitkan yang mendengar. Perlahan Papa berjalan mengampiri Romeo, rasa kesal yang sempat menguasainya perlahan menghilang saat melihat wajah pucat serta penuh keringat anaknya.

"Engghh." Napas Romeo terdengar tidak teratur, tanpa sadar tangannya meraih tangan Papa. Menggenggamnya dengan sangat erat. Perlahan kedua matanya terbuka. "Tolong ..." Dia merintih lagi saat merasa perutnya seperti ditusuk berulang kali. "Sa-sakit. Perutku ... sakit banget. Tolong ..."

Papa terjatuh seketika, tidak ada rona di wajahnya. Dia sama pucatnya seperti Romeo. Untuk sesaat dia tidak bisa berpikir apa pun saat melihat anaknya kesakitan seperti ini. Apa ini benar-benar Romeo? Anaknya yang selalu kuat? Anaknya yang tidak pernah menangis meski dia memukulinya? Apa benar ...

Melihat Romeo seperti ini, dadanya menjadi sangat sesak hingga matanya berkaca-kaca. Melihat Romeo seperti ini terlihat begitu asing di matanya, selama ini dia mengenal Romeo sebagai anak pembangkang, anak yang mau sesakit apa pun tidak pernah ditunjukkan pada siapa pun. Selama ini Romeo selalu terlihat baik-baik saja hingga dia percaya kalau yang harus selalu dia perhatikan adalah Ragil. Romeo kuat dan mandiri sehingga tidak perlu perhatian.

I'M BROKENWhere stories live. Discover now