Atilla cepat-cepat mengalihkan pandangannya yang sebelumnya dipenjarakan oleh tatapan Duta yang terlampau hangat.

"M-maksud gue, emang lo sepeduli itu sama
orang lain?" Atilla ingin menertawakan dirinya yang gelagapan hanya karena degup jantungnya yang tak terkendali. "Kan, yang selama ini gue lihat, lo orangnya..."

"Sombong? Arogan? Sarkas?" potong Duta tiba-tiba. "Gue nggak tau ya Til, lo pantes nggak dengerin ini dari gue. Gue nggak pernah cerita ini ke siapa-siapa. Sebenernya apa yang gue lakuin selama ini cuma buat bikin gue terlindungi. Sejak nyokap meninggal, gue jadi sering menjauh dari bokap,
kecewa karena sebagai dokter, dia gagal selamatin nyawa ibu gue. Gue berasa rapuh banget. Mungkin bagi lo gue lebay, lah. Cengeng, lah. Tapi gue bener-bener berasa lemah tanpa nyokap. Itu sebabnya gue jadi kayak gini. Biar nggak ada orang lain yang berani nyakitin gue. Dan biar gue nggak kelihatan lemah di depan orang-orang."

Untuk sesaat, Atilla ditenggelamkan suasana. Ia tak menyangka bahwa Duta bisa benar-benar menjadi cermin yang memantulkan bayangan seorang Atilla. "Gue ngerti perasaan lo, Duta."

Duta hanya diam, lalu secepat itu dirinya mengumpat dalam hati. Bisa-bisanya sebuah keinginan untuk memeluk Atilla muncul tiba-tiba. Ada-ada saja!

"Karna kita sehati, maybe?" ucapnya kemudian, yang dibalas oleh Atilla dengan pukulan kecil di bahunya.

"Eh—Til?

"Ya?" sahut Atilla langsung.

"Kok pipi lo bisa tiba-tiba merah gitu, ya?

• • •

Sejak Bu Christin menghukum Atilla keluar kelas, Derrel tak lagi tenang selama pelajaran. Setelah kegelisahan itu sudah tak bisa dibendungnya, Derrel meminta izin dengan alibi ingin ke toilet. Hebat, Atilla telah merubah seorang Derrellio Rellio menjadi seorang pembohong.

Sepanjang perjalanannya untuk menemui Atilla, dalam hati Derrel berusaha merangkai kalimat yang mestinya ia katakan. Mungkin, dia tidak berhak marah pada Atilla. Toh, Atilla bukan siapa-siapanya. Cewek itu berhak kenal dan dekat pada cowok manapun.

Saat otaknya telah menemukan kalimat yang pas, ide membelikan minum untuk Atilla terbesit begitu saja. Dia menghentikan langkahnya, kemudian berjalan menuju kantin yang berlawanan arah dengan toilet.

Saat sampai di sana, dia langsung membuka kulkas yang berdiri di samping kiri gerai Mbak Emi. Sepersekian detik kemudian, Derrel urung mengambil air mineral di dalam kulkas, karena otak cerdasnya mengingatkan bahwa meminum air dingin saat lelah akan berpotensi merusak jantung. Karena alasan itu, Derrel memesan air mineral yang tidak dingin pada Mbak Emi.

"Eh, Mbak Em, itu Pempeknya kok tumben masih ada? Biasanya jam segini udah abis," tanyanya saat menerima air mineral dari Mbak Emi—yang tengah menggoreng Pempek.

"Emang udah abis, Dek Derrel. Ini Pempek yang Mbak goreng tuh pesanan guru, katanya abis ini dia mau pulang, ada acara di rumahnya,"

Saat itu juga, mendapatkan seporsi Pempek untuk Atilla adalah keinginan Derrel. "Mbak, aku beli seporsi dong..."

"Waduh, nggak bisa, Dek Derrel. Ini udah mau diambil sama orangnya. Kalau Dek Derrel mau, selesai Dzuhur Mbak Emi gorengin, kebetulan sisa adonannya juga masih banyak, kok." Mbak Emi kembali melanjutkan kegiatan menggoreng Pempeknya.

CephalotusOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz