"Ma! Jangan bikin mereka malu. Cukup tahu saja. Mereka sudah dewasa dan tahu tanggung jawab masing-masing. Yang penting nanti anak mereka sehat." Lagi-lagi sang Papa menyelamatkan mereka dari pertanyaan Ibu Tristan.

"Ehm, anak muda jaman sekarang malu tapi bertindak hal-hal seperti itu."

"Hus sudah, Ma!"

"Tapi sudah hampir tiga bulan, kenapa kalian baru memberitahu kami? Ini kan berita baik, tidak bagus ditunda-tunda."

"Iya, Mamamu benar. Orang tua Kaia sudah tahu?"

"Mereka juga belum tahu, Pa."

"Kalian ini mentang-mentang sudah punya pasangan jadi lupa dengan orang tua ya."

Kaia menggeleng, ia memberikan senyum lalu menjawab, "bukan begitu, Pa. Kami cuma mau anak kami sehat sebelum memberitahu yang lain, mohon dimengerti."

"Iya pasti mereka punya pertimbangan masing-masing, Pa." Kali ini sang Ibu yang membela. "Ayo kita makan! Nanti masakan Mama dingin loh!"

***

Kamar Tristan terletak di lantai dua dan tidak terlalu luas, mungkin hanya berukuran 4 x 3 meter dengan ranjang berukuran queen yang menempel mantap di dinding dengan jendela. Lantai kamar terbuat dari parkit kayu jati yang mengkilap. Dindingnya, kelabu tua senada dengan selimut yang dia terbentang di atas ranjang. Terdapat sebuah lemari yang terbuat dari kayu berwarna beige, sewarna dengan meja nakas yang dihiasi lampu meja berbentuk tabung berwarna krem. Meja kerja di penuhi buku-buku tentang arsitektur, alat tulis, dan sebuah maket, di sampingnya terdapat tabung berisi gulungan-gulungan kertas. Tristan memang selalu memilih desain yang rapi dan simpel untuk dirinya sendiri. Hanya dengan mengamati beberapa detik, Kaia tahu jika kamar ini di desain oleh Tristan sendiri.

Kaia sedang memandang ke jendela, malam ini hujan datang lagi dan dia harap tidak ada kabar buruk lagi. Dari jendela ini semua bagian halaman rumah orang tua Tristan dapat dilihat dengan jelas, termasuk ayunan besi yang berada di bawah pohon kersen.

Tidak lama, terdengar suara pintu terbuka. Dia tahu itu Tristan tanpa perlu melihat. Sepertinya dia sudah selesai berbincang dengan ayahnya.

"Aku akan keluar jika mereka sudah tertidur," katanya lalu duduk di depan meja kerja. "Apa kamu nggak nyaman?"

"Mereka akan curiga kalau melihatmu tidur di luar." Kaia mengalihkan pandangannya dari jendela ke Tristan. "Tidur di sini saja, dengan selimut."

"Di sini dingin, kamu akan memerlukan selimutmu. Kamu pinjamkan bantal sudah cukup."

Kaia mengangguk, bergumam 'baiklah' sebelum kembali menatap jendela yang basah karena tetesan hujan. Dia meraba pergelangan tangan, merasa tidak nyaman di bagian itu. Udara dingin membuat rasa nyeri lebih kuat daripada yang dia inginkan.

"Ada apa?"

Ternyata Tristan memperhatikan kerutan di keningnya saat meraba pergelangan tangan. Seingatnya, Kaia sudah bisa makan dengan tangan kanan dan tidak merasakan nyeri lagi.

"Nggak apa, sepertinya karena tadi aku mengangkat barang," jawabnya singkat. Sebenarnya, dia sudah merasa tidak nyaman saat terjatuh tadi. Namun, semakin parah karena ia mengangkat tumpukan piring untuk membantu Ibu mertuanya.

"Kamu mengangkat barang berat?"

"Aku membantu ibumu," jawabnya.

Tristan hanya menatapnya, lalu bertanya, "apa kamu perlu sesuatu?"

"Ya, mungkin parasetamol."

"Tunggu sebentar," Tristan beranjak dari tempatnya.

Meski mungkin itu tidak akan membantu banyak karena nyeri yang ia rasakan cukup kuat. Kaia mendengar Tristan meninggalkan kamar. Ia mencoba menggerakkan tangan kanannya. Namun, rasa nyeri menggigit tangannya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 23, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

If Loving You is WrongWhere stories live. Discover now