delapanbelas

153 17 4
                                    

"Tangan dr. Kaia sudah bisa lepas dari arm sling tapi tetap harus hati-hati. Jangan bawa barang berat dulu, jangan bergerak mendadak, jangan sampai tertindih saat tidur. Perbanyak makanan yang mengandung protein, kalsium... saya rasa dr. Kaia sudah paham hal-hal seperti itu. Untuk pergelangan kakinya, untungnya tidak terlalu parah, jadi posisi tulang sudah sejajar. Tapi, karena rasa sakitnya masih cukup besar jadi masih harus  PWB (partial weight bearing), ya, dengan bantuan walking boots dan kruk. Dalam dua minggu jika menuruti saranku, dokter sudah bisa lepas dari cast."

Kaia menghembuskan napas lega setelah mendengarkan penjelasan dokter ortopedi yang ia temui. Artinya ia sebentar lagi sudah bisa berjalan tanpa bantuan manusia atau pun alat. Syukurlah. Dia sudah tidak sabar bisa pergi ke mana pun yang ia mau. Mau ke taman dan membaca di situ, atau mau ke minimarket supaya bisa mengisi stok es krim di dalam kulkas. Atau sekadar ke halaman depan untuk menanam biji tomat cherry yang ia beli tepat sebelum tulangnya retak.

Tristan menyalami dokter ortopedi itu lalu merangkul bahu Kaia agar dapat menuntunnya keluar. Dengan risih Kaia mencoba menjaga jarak. Namun percuma karena posisi mereka yang cukup rapat.

Mereka sudah keluar dari ruangan praktek. Tristan melirik jam sebentar sebelum berkata, "Masih ada waktu sebentar, aku mau ketemu Gama sebentar. Kamu mau ikut?"

"Nggak, aku di sini aja. Bian bilang mau bertemu denganku."

"Baiklah. Aku hubungi jika sudah selesai."

Kemudian mereka berpisah.

Tidak butuh waktu lama untuk menunggu Bian. Kaia melihat pria itu tersenyum lebar dan berlarian ke arahnya.

"Kaia! Hei! Apa kata dokter?"

"Aku baik-baik saja." Kaia mengangkat tangannya, "kabar baik untuk tanganku. Tapi aku masih harus nunggu satu minggu untuk bisa FWB (full weight bearing)."

"Bersyukur! Nggak banyak orang yang beruntung dapat alasan yang kuat untuk bermalas-malasan selama satu bulan." Ditariknya bahu Kaia ke arahnya, lalu mereka berdua berjalan.

"Sialan. Jangan samakan aku dengan kamu."

Bian terkekeh geli, sudut matanya membentuk kerutan. Sebelum akhirnya mata itu membulat dan ia menjentikkan jarinya. Bian berlari ke satu pintu lalu kembali dengan kursi roda yang ia dorong.

"Surprise!"

"Ya ampun, aku nggak tahu harus senang atau nggak." Kaia mengamati kursi yang rangkanya berbahan metal dan bantalannya berbahan kulit berwarna hitam itu. "Dua minggu lagi aku sudah bisa jalan dengan kedua kakiku."

"Ayolah, Kaia. Aku udah susah payah memohon-mohon pada Dokter Broto agar mau meminjamkan satu kursi roda ke kamu," ucapnya sambil bertolak pinggang. Pura-pura sebal. "Nah sekarang ayo kita coba, aku ingin mau ngajak kamu jalan-jalan."

***

Kaia menghela napasnya. Ia akhirnya bisa merasa sedikit tenang setelah menghirup udara banyak-banyak. Rasanya ia bisa hidup ketika oksigen memenuhi otak. Kapan lagi ia bisa memandang awan yang berarak ramai mirip gulali yang terapung sambal bersandar di pohon legendaris rumah sakit cinta sehat. Pohon ini merupakan tempat terkenal bagi pasien dan keluarga mereka untuk bercengkerama. Pohon ek yang memiliki kanopi rimbun, batang besar, dengan rumput tebal dan bersih, belum lagi suara burung dan tonggeret jadi musik yang menenangkan. Dulu ia dan Bian sering minggat dari Gama dan bersembunyi di sini, mengerjakan tugas atau sekadar minum americano sambil berbincang kecil. Tempat ini jauh lebih baik daripada café-café, setidaknya itu menurut dia dan Bian.

Sekarang hampir jam sepuluh, terik matahari masih bisa dimaafkan. Kaia memejamkan matanya, menikmati matahari yang menerpa kulit. Ia bergerak lebih landai ke arah Bian, mencari posisi nyaman di bahu sahabatnya. Mereka berdua memejamkan mata.

If Loving You is WrongWhere stories live. Discover now