Empat - A Gift

2.2K 171 19
                                    

Kaia menggenggam benda berbentuk mirip seperti botol pipih di tangannya. Dia membeli test pack itu secara diam-diam, saat Kania dan kedua orang tuanya keluar rumah. Bi Surti saat itu sedang makan bersama sekuriti di dapur.

Kaia berdiri di depan wastafel. Terpekur menatap pada cekungan yang terdapat pada permukaan tespack, di mana satu garis merah jelas sudah tergambar. Diteguknya ludah payah. Bola mata Kaia perih karena tak mau berkedip. Di dalam dada, jantung itu memacu cepat, sangat cepat.

Tangan Kaia bergetar. Dia menjatuhkan benda itu.

Sebuah garis merah lain yang lebih samar muncul. Menunjukkan dua garis yang bersampingan. Dua garis yang membuat dunia Kaia seakan pecah.

^^^

"Aku hamil."

Dua kata itu terucap lancar namun hanya dalam bisikan. Kaia berharap barusan Bian sama sekali tak mendengarkan apa yang ia ucapkan. Namun sepertinya itu mustahil karena tak ada tanggapan sama sekali dari Bian. Pria itu diam. Yang ada hanya suara dari tarikan nafas dan gemerisik dari gerakan gugup Kaia menggenggam telapak tangan. Mungkin Bian jijik padanya karena dia hamil tanpa ada ikatan pernikahan. Atau bahkan Bian hanya menganggap apa yang dikatakan Kaia sebagai lelucon, yah lelucon yang tidak lucu. Tapi setidaknya Kaia bisa berkata jujur pada Bian. Kaia sudah siap dengan segala konsekuensi dan tanggapan yang akan diberikan Bian. Membenci atau menjauhinya.

"Hah?"

"Aku hamil, ada janin di perutku." Ulang Kaia memenuhi permintaan Bian untuk mengulang ucapan itu.

Kaia bisa mendengar di sebelahnya, Bian menghela nafas. Membuat ia harap-harap cemas menantikan reaksi Bian yang sesungguhnya.

Tangan Bian terulur meraih tangan Kaia yang masih bertautan gelisah di atas paha. Menggenggam tangan kurus itu dengan sentuhan menenangkan. Bibir itu menyungging senyum, tatapan itu dia larikan ke gedung rumah sakit yang berdiri kokoh di hadapan mereka.

"Selamat, Kaia. Itu anugerah."

"Bian..."

"Aku tahu, aku percaya kok." Bian melepaskan genggaman tangannya lalu memindahkan tangan melewati pundak Kaia, lalu membawa kepala Kaia agar bersandar di bahunya yang lebar.

Hangat. Rangkulan Bian terasa hangat, kehangatan itu terserap ke dalam tubuh Kaia. Sampai-sampai bagian sudut mata Kaia ikut memanas. Dia menangis.

"Kamu... nggak mau tahu siapa ayahnya?"

"Kalo kamu mau kamu sudah kasih tahu dari tadi, kan?"

Bian adalah sahabat yang paling pengertian yang pernah dia punya. Jika orang lain, Kaia yakin mereka akan bertanya 'siapa ayahnya?' atau 'bagaimana bisa?' namun, Bian adalah seseorang yang mendengarkan tanpa menghakimi, justru memberikan ketenangan yang membuat Kaia berhenti berpikiran bahwa dia makhluk yang hina.

"Tapi aku..." Kaia menjilat bibirnya. Ia tak tahu harus mengungkapkan hal ini atau tidak. Mendengar hal ini mungkin akan membuat Bian berbalik memusuhinya. "Aku pikir aku nggak sanggup, aku masih muda, masih punya mimpi. Apa aku harus..."

"Psst!" Bian bergegas mendorong Kaia - meski secara halus - lalu memegang kedua sudut bahu wanita itu agar menatap langsung ke matanya. "Apa yang kamu pikirin? Jangan bilang kamu... No, Kaia."

"Aku takut..."

Bian menghembuskan napas prihatin melihat bola mata Kaia yang bergetar cemas. Ia harus melakukan sesuatu agar Kaia kembali kepada dirinya sendiri. saat ini Kaia pasti sangat terguncang sampai-sampai berpikir demikian.

"Ayo ikut aku..."

***

"Ayo ikut aku..."

Kaia kebingungan saat Bian menyeretnya menelusuri gedung rumah sakit Cinta Sehat, melewati ruangan-ruangan sambil sembari di sapa beberapa suster dan residen lain. Banyak juga dari perawat dan pasien yang memperhatikan kedua orang berjas putih ini bergandengan, berjalan tergesa-gesa. Membuat mereka berpikir mungkin ada pasien yang gawat dan harus ditangani segera.

If Loving You is WrongWhere stories live. Discover now