Duabelas

979 110 26
                                    


Saat kesadaran menghampiri, indera pertama yang bekerja dengan baik adalah hidungnya. Kaia mengerutkan hidung, mencium bau yang familier baginya, bau rumah sakit. Ingatannya perlahan-lahan mulai kembali. Bagaimana ia masuk ke ruang kerja Tristan, membersihkan tempat itu lalu menemukan sesuatu yang pahit. Karena kaget, Kaia berlari menuruni tangga, terjatuh. Ia sempat menelepon Bian sebelum akhirnya hilang kesadaran karena syok.

Seiring dengan ingatan itu, kepalanya seakan tersambar petir. Ia telah melewatkan hal yang paling penting. Sesungguhnya Kaia ingin langsung bisa bergerak segesit biasanya. Namun, yang bisa ia lakukan hanyalah menggerakkan sedikit tangan, membuka mata lambat-lambat. Ia berusaha berbicara dengan suara yang besar namun tenggorokannya kering.

"B-bi..." panggilnya, entah kenapa, tahu persis Bian ada di sana. Di sampingnya.

"Kay, kamu udah sadar? Kamu pusing? Sakit? Nyeri?"

Kaia sudah membuka mata sempurna, di atasnya, wajah Bian yang khawatir terpampang. Ia mengabaikan semua itu dan langsung menanyakan hal yang paling ia cemaskan.

"Bi, gimana Klepon?"

"Klepon baik-baik aja!" jawab Bian cepat, seakan paham apa yang dibutuhkan Kaia. "Nggak percuma kamu ngorbanin kaki dan tangan kamu buat ngelindungin Klepon," sambungnya dengan nada sarkasme. "Pergelangan kaki kiri cedera cukup berat, tangan kanan terkilir. Pantes aja kamu pingsan, untung kamu sempet ngehubungin aku."

Kaia menghela nafas lega. Sekarang ia baru bisa merasakan sakit yang mendera tangan kanan, dan kaki kirinya. Kedua alat gerak itu kini kaku karena perban dan gips yang dipasang.

"Syukurlah, aku takut banget tadi. Aku pikir, aku bakal..."

"Pssstt!" Bian menyelipkan rambut yang mengganggu mata Kaia. "Dr. Nindi udah periksa baby kamu, semuanya baik-baik aja. Cuma kamu perlu istirahat yang banyak. Jangan stres mikirin sesuatu yang nggak terjadi, Kay."

"Makasih ya, Bi. Kamu kasih tahu siapa aja masalah ini?" tanyanya masih dengan wajah yang cemas, jarak diantara dua alisnya berkerut dalam.

"dr. Gama udah tahu kamu hamil," Bian menjeda. "Dia langsung telepon Tristan tanpa sempat aku cegah. Mungkin sekarang Tristan sudah ada disini."

"Apa?!"

Kaia nyaris berdiri, jika tidak dihalangi oleh rasa nyeri yang langsung menyerang kaki kirinya. Sialan.

"Cepat atau lambat dia pasti tahu, dia suami kamu Kay. Apa salahnya kalau dia tahu?"

Ucapan Bian membuatnya membisu. Tentu tidak ada yang salah kalau Tristan tahu. Kaia mencoba meredam kepanikan untuk membalas ucapan Bian. "Aku tahu, tapi... aku nggak mau sikapnya berubah hanya karena 'kami' punya Klepon."

"Sikapnya berubah? Maksud kamu?!"

Kaia menggeleng tak ingin menjelaskan lebih jauh. Meski ia tahu ucapan barusan sudah memancing rasa ingin tahu Bian.

"Selain Kak Tristan dan dr. Gama, nggak ada yang tahu lagi?

"Seluruh rumah sakit Cinta Sehat."

Entah kenapa Kaia merasa geli, ia lalu menekankan lagi, "maksudku Kania, Mama Papa, Britta..."

"Belum ada, aku yakin dr. Gama cuma ngehubungin Tristan sementara ini. Kayaknya dia ngebet banget pengen ketemu suami kamu dulu."

"Syukurlah. Aku nggak mau dikasihani lebih banyak lagi. Lagipula, dua minggu aku pasti udah mendingan kalo aku istirahat bener-bener." Kaia melirik kakinya yang diganjal dengan bantal supaya posisinya lebih tinggi.

If Loving You is WrongWhere stories live. Discover now