Lima - Cinta yang Berubah Rupa

1.9K 129 24
                                    

Lima tahun yang lalu adalah pertama kali Kaia berjumpa dengan Tristan. Ia ingat dengan jelas hari itu, cuaca, hari, tanggal, waktu dan segala yang berhubungan dengan hari itu. Bahkan pakaian yang Tristan kenakan. Pukul tiga sore, saat itu hujan deras, berangin lebat disertai petir. Bel rumah berkali-kali berbunyi namun Bi Surti tak kunjung membukakan pintu bagi si pengunjung.

Kaia barusaja pulang dari kampus, menunggu Kania dan Bi Surti menyiapkan makan malam di dapur sementara dirinya sedang mengupas apel untuk Yudha, Papanya. Karena hujan deras, hanya Kaia yang duduk di meja makan dapat mendengar bunyi bel itu. Setelah bosan mendengarkan bel yang bernada sendu karena baterainya hampir soak, Kaia akhirnya menyerah dan meletakkan apel di piring lalu beranjak menuju pintu utama.

Klik.

Pintu terbuka. Sang tamu tak begitu saja langsung masuk ke dalam rumah. Pria itu sibuk menepuk-nepuk bekas tetesan hujan di kemeja navy bergaris hitam halus yang dia kenakan. Kaia hendak meninggalkan Tristan ke dalam rumah sebelum cowok itu bertanya dengan suaranya yang rendah, berbeda, membuat Kaia ingin memastikan bagaimana wajah dari pemilik suara itu.

Tidak tahu mengapa, Kaia merasa bagai terhipnotis ketika matanya terhubung dengan milik Tristan. Mata pria itu terasa menaklukkan suatu bagian dari dalam diri Kaia. Jantungnya berdetak cepat, rasanya ada sebuah banjir yang memenuhi rongga dadanya. Sesak, tapi suka.

Dan itu membuat Kaia seketika bersikap kikuk.

Sejak saat itu, tanpa alasan yang jelas, seperti sesuatu yang otomatis, Kaia selalu ingin melirik, melihat, atau bahkan menatap Tristan di dalam setiap kesempatan yang ada. Kunjungan Tristan ke rumah selalu menjadi hal yang dinantikan Kaia. Mulanya ia tak tahu akan perubahan ini, namun lama kelamaan Kaia sadar.

Pernah sekali ketika Tristan menyadari tatapannya dan mata mereka bertemu, Kaia merasakan campuran antara bahagia yang meledak-ledak dan rasa malu. Dari itu, Kaia belajar, bahwa apa yang ia alami saat ini adalah sebuah tanda bahwa dia jatuh cinta pada Tristan.

Cerita itu terdengar sangat indah, ya, jatuh cinta memang selalu indah. Tapi, jika sudah terjadi kebalikannya. Semua itu tak lebih dari senjata yang paling kejam untuk menyiksa diri. Kaia yakin, dia, tidak, mencintai Tristan lagi. Tidak seperti dulu, yang menjadi sumber bahagia, meski ia tahu Tristan hanya mencintai Kania saja. Rasa sakit cemburu jauh lebih kecil dari yang Kaia rasakan sekarang.

Mulai sekarang, Kaia tidak akan percaya pada cinta. Cinta yang Kaia tahu tidaklah seperti ini. Tidak berkhianat, dulu dielu-elukan, sekarang menusuk-nusuk tanpa henti.

Titik-titik hujan yang menempel di kaca mobil membuat Kaia lebih nyaman untuk menatap ke jendela mobil. Dia ingin melanjutkan bermono-drama di dalam pikirannya sembari menikmati sejuknya udara di dalam mobil dan kaca buram yang membuat pemandangan di luar mobil terlihat kabur.

Namun suara seorang pria terdengar. Suara yang sama yang pernah dia dengarkan dulu, namun rasa yang ia rasakan saat mendengar suara itu tak sama lagi. Tak akan pernah sama.

"Kamu sehat?" Tristan membuka suara setelah sepuluh menit berdiam di dalam mobil. Macet membuat Tristan tidak memiliki kegiatan apa pun selain menunggu mobil di depan berjalan. Dan itu membuat suasana di dalam mobil semakin hening, meski ia tidak sendirian di sana.

"Sangat," jawab Kaia dengan suara yang setengah parau. Tak berniat untuk menatap ke arah Tristan. Ia lebih suka menghitung titik air yang menempel di jendela mobil.

"Oh," Tristan mengangguk-angguk. Mengetuk-ngetuk telunjuknya di setir mobil sembari memikirkan ucapan selanjutnya. Tristan ingin mengucapkannya, tapi, ada semacam duri yang tumbuh di tenggorokan secara tiba-tiba sehingga kata-kata itu keluar begitu sulit. Namun, sebelum suasana menjadi lebih buruk, Tristan akhirnya memberanikan diri, "aku minta maaf."

If Loving You is WrongWhere stories live. Discover now