tujuhbelas [a]

1.1K 97 50
                                    


"Long awaited weekend! Jalan yuk!"

Britta, Kaia tahu pasti wanita itu akan mencari alasan untuk menemuinya. Sebelumnya mereka memang banyak menghabiskan akhir pekan bersama. Seperti wanita-wanita single lain yang makan, nonton, nyalon dan berbelanja bareng. Atau paling tidak selfie sana-sini untuk di upload sebagai bukti jalan bareng. Kaia sempat merindukan hari-hari seperti itu saat ia sibuk jadi koas dan Britta sedang meniti karir di negeri Ginseng.

Mereka biasa melakukan hal-hal itu lagi saat Britta pulang ke Indonesia. Memuaskan kerinduan mereka untuk bersenang-senang hampir seharian. Seakan mereka tidak punya hari esok untuk melakukannya. Meski yah, mereka memang tidak punya. Kaia harus kembali ke kewajibannya sebagai dokter muda. Tapi sekarang Kaia sepertinya benar-benar tidak bisa memenuhi rasa kangen terhadap kebahagiaan sejenis itu. Sejak ia dan Tristan bersama, ia terlalu takut untuk keluar. Bertemu orang terdekat berarti harus memulai sebuah kebohongan. Terlalu banyak hal untuk di rahasiakan. Kaia menjadi sosok takut untuk berbagi keluh kesah dengan orang lain. Menutup diri dan berusaha melakukan semua sendiri.

Lagipula, ia masih belum bisa berdiri di atas kedua kakinya.

"Mmm, sorry, hari ini aku pengen di rumah aja."

"Ups, mau dua-duaan sama suami ya? Aku kadang lupa kamu sudah punya laki."

"Maklumlah, kita kan penganten baru. Makanya buruan cari laki. Bian nganggur tuh!"

"Wahaha, makasih sarannya ^^" Bian itu bukan pilihan :p"

Jika sekarang bisa memilih, Kaia pasti lebih memilih Bian untuk mendampinginya dibandingkan Tristan. Itu memang terdengar gila, tapi sebesar itu keengganan Kaia untuk berjumpa dengan Tristan setiap saat.

"Btw, kamu nyeritain semua ke Kak Tristan? Kalo aku suka sama dia udah lama?"

"Yap!"

Kaia memejamkan matanya menahan rasa kesal. Ia ingin menyalahkan Britta, namun wanita itu tidak tahu apa-apa tentang hal ini.

Jadi selama Tristan sudah mengetahui perasaannya yang dulu. Jadi, karena itu Tristan sering memperhatikannya dengan tatapan yang sulit diartikan. Tristan pasti mengasihaninya. Bodoh.

Lelaki itu dengan enteng membeberkan bahwa ia tahu Kaia dulu pernah 'dengan sangat' mencintai Tristan. Seakan hal itu bukanlah suatu hal yang besar untuk tetap di rahasiakan dan itu melukai harga dirinya. Dan kemudian Tristan meminta mereka memulai semua dari awal, apa dia pikir karena Kaia pernah mencintainya, jadi Tristan bisa dengan seenaknya meminta hal itu. Apa yang sebenarnya ada dipikiran lelaki itu.

"Halo Kay!! Are you still there?"

Panggilan Britta membuat Kaia tersentak. Ah, ia masih bicara dengan Britta lewat sambungan telepon.

"Bikin malu aja! Kak Tristan jadi besar kepala tuh!"

"Nggak apa-apa dong! Biar tahu dia seberapa besar cintamu, jadi dia nggak akan menyia-nyiakan kamu... kamu nggak tahu gimana keponya dia saat aku ceritain semua curhatan-curhatan kamu!"

"Fix, pelanggaran terhadap privasi."

"Hahaha, maap deh! Dia bilang dia bahagia bisa nikah sama kamu! Dia bilang, dia sayang banget sama kamu. Duhhh, jadi iri."

Rasanya ada yang menyayat hatinya. Kenapa ia masih memiliki respon terhadap kata-kata itu. Meski pun tidak disampaikan secara langsung padanya, rasa perih itu tetap nyata. Mengingat sebanyak apa kebohongan yang harus dikeluarkan Tristan untuk mengucapkan hal itu membuatnya muak. Rasanya Tristan begitu meremehkan perasaannya dengan cara mengucapkan rasa sayang begitu mudah. Tristan pasti tahu Kaia masih mencintainya saat malam menggenaskan itu terjadi.

If Loving You is WrongWhere stories live. Discover now