duapuluh

118 13 2
                                    

Di sepanjang perjalanan pulang mereka hanya saling diam. Tristan terkadang mengepalkan lengan kanannya, menggigit kepalan itu lalu kembali fokus ke depan. Kaia bersumpah dia bisa mendengar napas mereka berdua yang teratur saking sunyi. Ia tak tahu seberapa banyak yang dengarkan oleh Tristan. Apakah pria itu mendengar seluruh gundah gulana yang ia curahkan pada Bian.

Kaia menyentuh kening. Ya tuhan, ini baru kali pertama dalam sejarah persahabatannya dengan Bian, pria itu mencium keningnya. Bian selama ini hanya menggenggam tangannya, memeluknya, atau mengusap kepalanya. Tadi otaknya terlalu sesak oleh luapan emosi yang tiba-tiba saja menyerang jadi ia tidak sempat memperhatikan apa pun. Apakah sentuhan yang ia rasakan di bibirnya adalah ciuman juga. Ya tuhan! Kaia meraba bibirnya, Tristan melirik sejenak lalu kembali menyibukkan diri dengan jalan raya.

Kemudian, apa perkataan Bian serius? Bagaimana bisa pria itu menyukainya? Dan selama ini ia tak peka mengenai perasaan lelaki itu. Dia tahu selama ini Bian selalu memperhatikannya, perhatian seperti seorang kakak pada adiknya. Setidaknya seperti itu yang dulu dikira oleh Kaia. Ada perasaan Bahagia sekaligus sedih saat ia mengetahui perasaan sahabatnya itu. Rasa Bahagia dan terima kasih yang tak bisa dia ungkapkan dengan kata-kata. Baginya dicintai Bian adalah sesuatu yang indah. Tapi ia juga sedih, ia tak sanggup memikirkan bagaimana Bian harus menghadapi patah hati dan cinta yang tak terbalas ketika ia menikah, karena ia tahu bagaimana perihnya. Seandainya semua belum terlambat, seandainya ia bisa memutar waktu. Dia tidak akan menyia-nyiakan Bian yang ada di sisinya. Seandainya dia bisa memilih akan jatuh cinta pada siapa.

Mereka sampai di rumah, tanpa bicara satu patah kata pun. Namun Tristan masih membukakannya pintu mobil, berjalan di sampingnya yang masih terseok-seok. Dan ketika mereka sudah berada di dalam rumah lelaki itu akhirnya berbicara.

"Istirahatlah, kamu pasti lelah seharian ini. Kalau kamu perlu bantuan, hubungi aku lewat telepon atau pesan."

Tristan berbalik menuju tangga ke lantai dua, namun Kaia memanggilnya terlalu lantang.

"Bibirmu."

Disentuhnya sudut bibir tebal itu dengan jari, ia mengernyit sedikit menyadari bahwa ada sobekan di situ.

"Kamu harus bersihkan itu dan bubuhkan antiseptik."

"Aku tahu. Istirahatlah."

Kaia mengangguk, segera masuk ke kamar lalu menutup pintu rapat-rapat.

Setelah melihat pintu itu tertutup rapat, Tristan menghembuskan napas berat. Ia memutuskan untuk mandi dan beristirahat. Ia pikir mandi air hangat itu bisa membantunya mengurai benang kusut yang ada di kepala. Namun, ia justru memikirkan hal yang tidak diinginkan. Dia tidak mengerti perasaan dendam yang tiba-tiba memenuhi kepalanya, ia ingin membunuh Bian. Apa itu karena Bian telah melanggar teritorinya?

Awalnya ia hanya ingin mendengar apa yang mereka berdua bicarakan. Dia tahu Kaia mempedulikannya. Dengan segala kebencian wanita itu terhadap dirinya, Kaia masih memikirkan perasaannya. Tristan senang mendengar kenyataan itu dan berharap hal sama. Dia harap Kaia akan terus membencinya, menghinanya dan mencercanya. Itu akan membuat semua lebih mudah. Dan ya, jika memang Kaia bisa menemukan cinta yang tidak menyiksanya, itu pasti akan sempurna. Tristan berpikir demikian, dia pikir Bian sempurna untuk Kaia. Tapi kenapa ia tidak bisa menahan emosi yang memenuhi puncak ubun-ubun ketika Bian mencium Kaia di bibirnya.

Sial.

Tristan memperhatikan sudut bibirnya yang bengkak dan berwarna merah gelap di kaca wastafel kamar mandi. Dengan hanya sehelai handuk membalut tubuhnya, Tristan keluar. Menuju dapur, dan membuka seluruh lemari atas dan laci yang ada di sana. Ia menggerutu, mungkin kotak P3K tidak ada di dapur. Dia ingat dulu pernah membeli benda itu, namun ia lupa di mana meletakannya karena memang tidak pernah digunakan sama sekali.

If Loving You is WrongWhere stories live. Discover now