Dua - Hardest Days

4.3K 236 39
                                    

Kaia merasa dirinya tak pernah berbuat dosa yang begitu besar sehingga dia patut dihukum. Sejak kecil dia selalu diajarkan untuk berbuat baik. Sebanyak apa pun harta yang kita miliki, tak ada gunanya jika kita tidak memiliki hati yang baik. Kata Ayahnya, mendapatkan teman melalui harta dan hati memiliki hasil yang berbeda. Seseorang yang berteman karena harta akan pergi ketika uang kita habis, sedangkan yang berteman dengan kita karena kebaikan hati justru akan datang di saat kita kesulitan, sejauh apa pun dia.

Karena itu, Kaia selalu melakukan kebaikan kecil. Dia biasa memberikan tempat duduknya untuk lansia di atas bus yang penuh, dia dengan senang hati membawakan barang-barang berat milik ibu hamil. Dia tidak jarang mengajak pengemis atau pengamen untuk duduk satu meja dan makan siang dengannya. Atau, hanya sekadar memijat kaki ibunya yang kelelahan di malam hari. Dia bahkan memiliki cita-cita yang mulia karena ingin menjadi dokter Anak.

Semua itu membuat Kaia banyak berpikir, mengapa dan apa yang menyebabkan dirinya pantas mengalami hal yang mengerikan itu seminggu yang lalu? Apakah dia masih belum cukup baik? Atau justru ada dosa yang tidak dia sadari telah dilakukan? Atau Tuhan hanya iseng-iseng menguji kesabarannya? Karena hidupnya terlalu monoton? Dia hanya bisa mencintai diam-diam selama lima tahun dan tidak memiliki kemajuan apa pun selama itu. Maka Tuhan memberi kesempatan untuk bersama laki-laki meski dalam kesakitan dan kebencian?

Kaia duduk bersandar di dinding kamarnya, tepat di bawah jendela ia bersimpuh. Bahunya lemas, rambutnya berantakan dan tubuhnya terlihat makin kurus. Menatap kosong kamarnya sembari memikirkan apa salah dan dosanya. Kaia melakukan ini setiap hari semenjak dia pulang dalam keadaan berantakan. Laras—Mamanya—dan Kania yang saat itu ada di rumah syok melihat Kaia pulang dengan pakaian basah, rambut kusut dan mata sembab. Kania berusaha menanyai apa yang terjadi namun Kaia memilih bungkam. Yudha—Papanya—yang terlampau sibuk tidak mengetahui kejadian ini hingga sekarang. Dan, Kaia masih belum bersedia mengatakan apa yang mengubah sikapnya.

Bel berbunyi berkali-kali cukup mengusik Kaia untuk bangkit. Tubuhnya agak lemas hingga perlu banyak usaha untuk sekadar melangkahkan kaki menuruni tangga. Dia melihat Bi Surti, asisten rumah tangga yang dipekerjakan Laras berjalan menjauhi pintu masuk. Bi Surti menyadari kehadirannya dan memberikan senyum ramahnya pada Kaia.

"Non Kaia sudah bangun? Sudah lapar belum? Di dapur, Non Kania sedang masak sop buntut kesukaan Non Kaia loh!" ucapnya ramah dengan logat Jawa yang masih kental.

Namun, Kaia tak mendengar jelas. Entah mengapa matanya lekat pada amplop cokelat besar yang ada di tangan Bi Surti. Dia memiliki perasaan kuat akan benda itu, sebuah perasaan tak nyaman yang membuatnya ingin melihat apa isi amplop itu. Secepatnya.

Bi Surti yang menyadari tatapan Kaia lalu berkata, "Oh, ini? Ini surat untuk Tuan Yudha, Non."

"Boleh aku aja yang kasih ke Papa, Bi?" Pintanya.

Bi Surti tersenyum—lagi—karena mendengar suara Kaia yang akhir-akhir ini terdengar sendu dan jarang dikeluarkan.

"Oh, boleh sekali, Non! Silakan!" Bi Surti mengangsurkan amplop itu pada Kaia yang langsung dipeluk gadis itu protektif. Semenjak seminggu yang lalu Kaia berubah menjadi sensitif terhadap bel rumah, petugas pos yang mengantar surat, tayangan berita atau gosip atau justru telepon yang berdering. Kaia seperti merasakan sesuatu yang buruk akan datang mengganggunya.

Kaia yang mengangguk setelah menerima amplop pergi meninggalkan tempat itu untuk kembali ke kamarnya.

Tangannya gemetar membaca tulisan nama sang Ayah beserta alamat lengkapnya. Surat ini surat kaleng. Tak ada nama pengirim. Itu yang membuat Kaia curiga. Isinya tidak lentur namun bisa di tekuk, bisa jadi beberapa lembar kertas tebal berukuran besar.

If Loving You is WrongWhere stories live. Discover now