Perasaan Apa Ini?

175 96 144
                                    

Prank!

Aku terbangun dari tidur siang, ketika mendengar suara gaduh dari bawah, aku menghela napas kasar, sepertinya Rei kembali berulah, pikirku. Bagaimana bisa dia memasak jika tidak tau cara memegang alat dapur? Dia memang gadis yang pantang menyerah.

Aku mengerjapkan mata beberapa kali, kemudian segera berjalan ke bawah menuju dapur, mata ini terbelalak melihat situasi dapur yang sama berantakannya seperti pekan lalu.

"Rei ...," panggilku sehingga gadis itu melihatku.

"Hai, Ge," balasnya dengan senyum tipis.

Aku terkikik geli melihat wajah Rei yang belepotan dengan tepung, sepertinya dia ingin membuat kue kali ini. Aku berjalan mendekatinya tersenyum hangat, kemudian mengambil wadah besar yang tengah ada di depan Rei.

"Kali ini kue?" tanyaku yang dijawab anggukan pelan.

"Ha ... kenapa gak bangunin aku aja," ucapku setelah menghela napas.

"Maaf ...," lirihnya pelan.

Aku meletakkan wadah yang berisikan tepung itu ke atas meja, menatap Rei yang terlihat menggigit bibir bawahnya, mungkin dia merasa takut? Atau malu? Yang jelas saat ini wajahnya sangat menggemaskan, bagaimana bisa aku memarahi gadis imut sepertinya?

"Coba liat sini," pintaku dan meraih wajah mungil Rei.

Aku mulai mengusap pelan wajahnya, menghilangkan noda tepung yang ada di sana. Terlihat Rei memejamkan matanya berkali-kali, saat ibu jariku berusaha menyentuh dahi dan pelipisnya.

"Udah," ucapku, kemudian menyingkirkan tanganku dari sana.

"Makasih," ujar Rei, lalu memalingkan pandangannya dariku

Apa aku melakukan kesalahan? Kenapa Rei mengalihkan perhatiannya? Ah, mungkin hanya perasaanku saja, bukankah kami sudah berbaikan beberapa hari lalu? Seharusnya Rei tidak keberatan jika aku melakukan ini kepadanya, 'kan?

"Ge?"

"Hm? Iya."

Panggilan Rei berhasil membuatku tersadar dari pikiran yang rumit itu. Sepertinya memang aku terlalu banyak berpikir mengenai hubunganku dan Rei sekarang.

"Mau ajarin gue buat kue?" tanya Rei yang kujawab dengan anggukan kecil.

"Tapi, kita beresin dapurnya dulu," pintaku dan segera dilaksanakan oleh Rei.

Tidak butuh waktu lama, mungkin 10 menit? Entahlah, aku tidak menghitungnya dengan akurat, yang terpenting sekarang ruangan ini berhasil menjadi rapi dan bersih kembali.

Rei terlihat letih, keringat menuruni pelipisnya kali ini, aku tersenyum menatap wajah mungil Rei, rasanya seperti sudah tidak canggung lagi saat bersama dengannya, aku harap kami bisa terus bersaudara seperti ini, tunggu? Kenapa mengingat kata saudara rasanya sedikit menyakitkan? Namun, bukankah itu yang membuat Tante Mila membawaku ke mari? Sebenarnya, apa yang aku rasakan kepada Rei? Rei adikku, selamanya akan begitu, itulah yang harus aku tanamkan dalam benakku.

"Ge."

"I ... iya?" jawabku sedikit gugup, takut Rei menyadari bahwa sedari tadi aku melihatnya.

"Bisa kita mulai buatnya?"

"Bisa, tapi sebelum itu kita bersih-bersih dulu, cuci tangan dan muka pastinya," jawabku sedikit geli, mengingat wajahku masih belum kena air setelah bangun tidur tadi.

"Oke," ujar Rei penuh semangat dan segera berlari menuju kamar mandi yang tidak jauh dari dapur.

"Kayaknya dia jauh lebih semangat dari yang gue pikir," monologku pelan.

U R My ...? [Terbit✓]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora