Kalo Gue yang Suka Rei, Gimana?

233 129 132
                                    

"Jadi selama ini kalian serumah?" ucap Sora dan Devan bersamaan setelah berada di kamarku.

"Iya," jawab Rei santai, kemudian keluar dari kamar.

Aku melihat wajah Sora yang duduk tepat di depanku, sepertinya dia sangat kecewa karena mengetahui hal itu dengan cara seperti ini.

"Maaf gak kasi tau kalian, kami cuma gak mau suasananya jadi gak nyaman sewaktu di sekolah," ucapku dan melihat ke dua orang yang menjadi lawan bicaraku.

Devan menghembuskan napas dalam, sepertinya dia merasakan hal yang sama seperti Sora. Aku melihat dua orang yang ada di depanku ini bergantian, berharap salah satu membuka mulut dan mengatakan apa yang tengah mereka pikirkan.

"Gue masih kaget aja, bangsat. Ternyata lo gak mau gue datang, karena takut ketauan tentang hal ini? Gila, ya! Gue mah gak masalah, njir. Cuma, ya ... masih kaget aja," ujar Devan lantang.

"Tapi, kalo dia kayaknya bakal marah si sama Rei," imbuh Devan lagi dan menunjuk gadis yang duduk di sampingnya.

"Jadi gini Sora, semua bukan salah Rei. Selama ini yang minta buat nutupin tentang kami serumah itu gue, dia gak ada niatan buat gitu. Pasti lo juga gak dilarang sama Rei buat main ke mari, 'kan?" tanyaku memastikan.

"Hm, selama ini selalu Rei yang main ke rumah gue, itu karena gue dulu susah dikasi ijin buat ke luar rumah dan pergi jauh sama nyokap. Meski Rei gak pernah ajak gue main ke mari, tapi Rei juga gak pernah larang buat gue datang ke sini," jawab Sora, kemudian dia kembali diam.

Hening, kami kembali diam, sepertinya dengan begini semua akan baik-baik saja. Sora tidak akan marah kepada Rei, sedangkan Devan memang sama sekali tidak keberatan.

Tidak lama kemudian, aku melihat Rei kembali masuk ke kamar dan membawa minuman dingin serta beberapa camilan. Mendekat ke arahku, Rei lalu membagikan gelas ke tiap orang yang berada di sini.

"Minum dulu," katanya dan berdiri, untuk meletakan nampan ke atas meja belajar.

"Kita bicara di kamar gue aja," kata Rei yang ditujukan kepada Sora.

Sora bangun dari duduknya, tidak lupa dibawanya gelas berisikan minuman segar yang diberikan Rei beberapa detik lalu, kemudian, diikutinya langkah Rei yang mengarah ke kamar yang ada di seberang ruangan ini.

"Dev," panggilku lirih.

"Jangan manggil gue kayak gitu, njir. Geli gue, lo mau minta maaf, 'kan? Ya udah gue udah maafin, kok."

"Enggak, bukan itu. Gue mau minta tolong buat tutup pintu," pintaku, kemudian menunjuk ke arah pintu yang masih terbuka.

"Tai lo," kata Devan kasar, tapi masih tetap bangun dan menutup pintu pelan.

"Makasih."

"Santai bangke, cuma tutup pintu aja makasih," ucap Devan, kemudian berjalan menuju kasur dan membanting tubuh tingginya.

"Bukan itu, makasih karena gak marah ke gue."

"Buat apa marah? Setiap orang punya rahasia, lagian pasti ada ceritanya kenapa lo bisa tinggal bareng Rei," sahut Devan masih dengan posisi berbaringnya.

Aku terdiam, masih mencerna apa yang telah terjadi beberapa menit lalu. Saat Devan dan Sora dipersilahkan masuk oleh Tante Mila.

"Itu yang di bawah nyokapnya Rei, ya?"

"Hm."

"Cantik, ya? Ramah lagi, beda banget sama Rei. Muka mereka juga gak begitu mirip," ucap Devan lagi.

"Tapi Rei tetap cantik, 'kan?" bantahku dan melihat ke arah Devan.

"Lo suka Rei, 'kan?" Kali ini Devan bangun dan duduk di tepi ranjang sambil melihatku serius.

"Gue saudaraan sama Rei."

"Haa ... gue gak tau hubungan lo sama Rei sebenarnya apa, tapi yang gue liat lo gak cuma pandang Rei sebagai saudara perempuan lo."

Aku tertegun, bahkan selama ini aku tidak pernah berpikir mengenai perasaanku. Tentang hatiku, debaran yang tiap kali datang saat aku melihat Rei atau setiap rasa gugup sewaktu berbicara dengannya. Apa itu bisa dikatakan sebagai rasa suka? Atau ... hanya rasa takut menghadapinya? Karena mengingat apa yang telah terjadi sepuluh tahun lalu.

"Oi!" Panggilan Devan membuatku tersadar.

"Gini, ya? Terlalu dekat sampe gak sadar. Lo pernah denger pribahasa itu?"

"Emang ada yang gituan?" tanyaku dengan wajah datar.

"Ya ... pokoknya gitu, deh! Lo itu gak sadar suka gak ke Rei, karena terlalu dekat, terlalu sering lihat dia, gak pernah jauh, pokoknya kalian dibesarin bareng. Jadi lo gak pernah merasa bakal kehilangan Rei."

"Kami sahabatan dari kecil, Dev. Gak mungkin gue bakal ada perasaan yang kayak gitu, 'kan?" sanggahku meyakinkan.

Devan terdiam, sepertinya dia tidak mau mengatakan apa pun lagi. Jujur saja, saat ini, aku tidak pernah berpikir untuk keluar dari ikatan persaudaraan di antara aku dan Rei. Aku murni menganggap gadis itu sebagai adik perempuan yang harus aku lindungi, mungkin. Namun, memang hanya itu yang terlintas di pikiranku.

"Kalo misalnya gue bilang, gue yang suka Rei, gimana?" Devan kembali membuka mulutnya.

Kali ini perkataan Devan berhasil membuatku melihatnya dengan sedikit terkejut. Entah bagaimana rasanya ada sesuatu yang mengganjal dalam diriku, untuk mengatakan 'ya sudah' kepada Devan.

"Kenapa diem aja?" imbuhnya lagi.

"Bukannya lo bilang dia jutek, ya?" Aku balik bertanya.

"Setelah gue lihat-lihat Rei imut, dia juga cantik. Lo sendiri yang bilang gitu, 'kan?"

"Tap—"

"Kenapa lo terus cari alasan? Bukannya semangatin gue buat deket sama Rei."

Lidahku tercekat, rasanya sulit untuk membantah kalimat dari Devan kali ini. Benar yang dikatakan pemuda bermata cokelat itu, kenapa aku tidak bisa menyemangatinya? Kenapa aku tidak berkata iya? Kenapa?

"Gue serius," kata Devan dan melihatku dengan tajam.

"Ya, kalo lo suka deketin aja. Kenapa minta ijin gua?" Akhirnya kalimat itu berhasil keluar, tapi, rasanya ada setitik penyesalan di dalam diriku.

"Ge, gue gak minta ijin lo. Gue cuma kasi tau aja, gue gak mau nantinya lo nyesel. Kalo lo bilang lo suka Rei, gue gak akan deketin dia."

Apa yang dikatakan Devan benar? Atau dia hanya mau melihat reaksiku, jika dia berkata seperti itu? Kenapa Devan tiba-tiba begini? Aku masih mencoba, untuk mencerna setiap kata demi kata yang keluar dari mulut Devan. Mencari celah untuk bisa membantah, tapi, aku sendiri tidak bisa memahami diri ini.

Aku tidak bisa mengkhianati persaudaraan antara aku dan Rei. Aku tidak boleh menodai hubungan kami. Aku tidak mau, Tante Mila kecewa terhadapku yang sudah dirawat dan dibesarkannya selama 10 tahun ini. Jika benar ... jika benar aku memiliki perasaan lebih terhadap Rei, apa yang harus aku lakukan selanjutnya? Memberitahukan gadis mungil itu? Atau diam saja, kemudian menjauh perlahan?

"Bisa mikir juga otak lo," ucap Devan yang membuatku sadar dari pikiran yang sangat rumit.

"Ha?" kataku bingung, karena tidak bisa memberikan respon yang baik.

"Muka lo kayak mikir banget. Ke warnet, kuy," ajak Devan, kemudian turun dari kasur, berjalan menuju pintu.

"Hm," jawabku, lalu berdiri dan mengenakan jaket yang kuletakkan di belakang pintu.

Aku berjalan ke luar kamar mengikuti Devan, menuruni anak tangga satu per satu. Sebenarnya ada yang membuatku bertanya-tanya, apakah tidak ada masalah antara Rei dan Sora saat ini? Sedari tadi aku tidak mendengarkan suara yang berasal dari kamarnya, bahkan sekarang pun, mereka belum keluar dari sana. Apa semuanya baik-baik saja?

U R My ...? [Terbit✓]Where stories live. Discover now