Akhir Pekan dengannya .... (2)

185 100 122
                                    

Aku, Rei, Devan dan Sora memutuskan untuk pergi dengan angkutan umum, karena merasa lebih nyaman dan tentu saja hemat biaya transportasi. Aku duduk bersebelahan dengan Devan, selama di perjalanan, dia terus bertanya bagaimana cara Rei mengajakku untuk pergi. Sora dan Rei duduk tepat di kursi di depanku, mereka berdua sibuk bercerita, tidak bisa dikatakan berdua juga, karena hanya Sore yang membuka mulutnya, sedangkan Rei lebih ke 'pendengar yang baik'.

Aku melirik Rei dari celah bangku, terlihat dia fokus dengan apa yang dikatakan Sora. Jari lentik Rei sesekali menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, membuatku semakin jelas mendapati wajah cantiknya. Cantik? Ah! Sejak kapan aku menganggap Rei seperti gadis, bukankah dia hanya sahabat kecil yang sudah kuanggap seperti adik? Cantik seperti adik, tapi terasa sedikit berbeda kali ini, tapi apa itu?

"Lo suka Rei, 'kan?" bisik Devan pelan membuatku sedikit terkejut.

"Ya, 'kan?" Devan kembali bertanya, karena aku tidak meresponnya. Aku menatap Devan dengan mata sinis, menggeleng pelan pertanda 'tidak' untuk jawaban pertanyaannya.

"Jangan bohong, gue tau lo anggap dia adek, tapi liat kondisi, dong! Cowok sama cewek yang gak ada hubungan darah, gak akan mungkin beneran jadi saudara, Ge."

Hening, aku terdiam mendengar ucapan Devan. Setelah kupikir mungkin ada benarnya kalimat dari sahabatku ini, bukankah aku dan Rei tidak sedarah? Lalu, kenapa aku berusaha menganggapnya sebagai adikku?

"Sekarang kamu bagian dari keluarga kami."

Kalimat Tante Mila 10 tahun lalu terngiang dan seolah menyadarkanku, aku menghela napas berat. Benar, aku keluarga Rei, gadis mungil yang merupakan sahabat kecilku. Aku menguatkan pikiranku, perkataan Devan sempat membuatku bingung. Aku tidak pernah memiliki perasaan apa pun kepada Rei, itulah yang harus aku tanamkan dalam diri ini.

Pletak!

"Aw!" ringisku kesakitan, karena Devan memukul kuat kepalaku.

"Masih sadar rupanya, lo geleng-geleng sendiri, njir. Kayak orang kesurupan, pucat gue liatnya," ucap Devan yang membuatku kebingungan.

Mungkin karena terlalu sibuk dengan pikiranku, aku sampai tidak sadar telah menggerakkan kepalaku.

"Sorry," jawabku sedikit telat.

"Kalian kenapa, sih?" Kali ini Sora dari depan bertanya kepada kami yang sedari tadi tidak bisa diam, aku pun menggeleng pelan untuk menjawab pertanyaan dari gadis berponi itu.

"Udah sampe ini. Ayo, turun," imbuhnya lagi dan bangun bersamaan dengan Rei.

Aku dan Devan menyusul kedua gadis yang ada di depan kami, turun dari angkutan setelah membayar pastinya.

"Kita mau ngapain ke sini?" tanyaku penasaran kepada Sora.

"Main sepeda," jawabnya dan tersenyum riang, sambil berjalan menuju ke arah tempat penyewaan sepeda.

Jadi, saat ini kami tengah berada di taman kota. Ya ... tempatnya ramai, tapi masih bisa merasa tenang di sini, karena banyak pohon yang membuat lingkungan terlihat hijau dan segar.

Sora dan Rei mendahuluiku dan Devan, kami menggeleng pelan melihat semangat Sora untuk bersenang-senang di tempat seperti ini. Aku melihat ke arah Rei, dia tertawa ketika Sora bertingkah seperti anak kecil, saat tiba di tempat penyewaan sepeda. Sebentar, Rei tertawa? Untuk pertama kalinya aku melihat Rei seperti ini. Kurasa akhir pekan kali ini tidaklah buruk.

"Tolong, ya. Kalo ngeliatin itu pake mata, bukan perasaan, beda banget tau gak?" ucap Devan yang berjalan di sebelahku.

"Apa sih, njir. Jangan sok tau," balasku.

"Ge, lo cuma perlu hilangin batas yang lo buat. Setelah itu, lo pasti sadar kalo lo suka Rei," ujar Devan dengan penuh percaya diri, aku yang melihat itu hanya menggeleng pelan.

"Sebenernya yang harus disadarin tu lo bukan gue."

"Terserah lo aja, Ge. Kalo setelah ini bakal ada cowok yang coba deketin Rei jangan nyesel, ya?"

Deg!

Hm? Kenapa? Kenapa aku tidak bisa menjawab apa pun lagi? Bukankah wajar jika suatu saat akan ada pemuda yang mendekati Rei? Lalu ... kenapa rasanya ada hasrat tidak terima dalam diri ini?

Aku kembali menatap Rei yang tengah sibuk memilih sepeda yang ingin dinaikinya. Apa benar? Rei si sahabat kecilku, sudah berhasil mencuri hati ini?

"Hei!" Panggilan seseorang berhasil membuatku, Devan dan Rei melihat ke arahnya bersamaan.

"Dirga?" gumamku melihat sosok tinggi, berkulit kuning langsat itu menghampiri kami.

"Kalian ngapain?" tanya Dirga penasaran, kepadaku dan Devan.

"Main sepeda," jawab Sora dari belakang kami.

"Eh! Ada Sora. Hai," sapa Dirga ramah dengan melambaikan tangannya.

"Ada Rei juga. Hai ... Rei!"

Kali ini Dirga menyapa Rei yang tengah sibuk dengan sepeda yang telah didudukinya, Dirga dengan penuh semangat berlari menuju Rei. Namun, kenapa harus semangat seperti itu? Rei juga tidak akan terlalu peduli ke dia, 'kan? Pikirku.

Aku melihat Rei dan Dirga tampak berbincang. Ah, terlalu jauh! Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Apa pembahasan mereka tentang sesuatu yang menarik? Apa sungguh asik, sampai Rei tidak mengayuh sepedanya dan memilih mendengar celotehan Dirga? Aku melihat Dirga tertawa di detik berikutnya, apa pula tawa muka kudanya itu? Mengesalkan, aku tidak tahan melihat ini. Aku pun melangkahkan kaki untuk mendekati mereka.

"Oi!" Devan memanggilku dan membuatku terhenti, aku berbalik menatap pemuda bermata cokelat itu, seakan bertanya, 'kenapa?'.

"Lo gak mau sewa sepedanya?" tanya Devan yang sudah memegang dua sepeda di sisi kiri dan kanannya.

"Ternyata mahal juga, padahal cuma 1 jam sewanya." Kali ini Sora mengutarakan kerisauannya.

"Kita sewa 2 sepeda aja, yang bisa boncengan, jadinya lebih hemat," imbuhnya lagi dan mendapatkan persetujuan dari Devan.

Aku yang merasa pembahasan ini kurang penting kembali melihat ke arah Dirga dan Rei. Tunggu, ke mana perginya mereka? Aku melihat sekeliling lintasan bersepeda, mencari sosok Rei dan Dirga.

"Cari apa?" tanya Devan yang penasaran.

"Rei," jawabku singkat, kemudian mengambil sepeda yang ada di sisi kiri Devan.

"Oi, bayar dulu!" teriak Devan dari belakangku.

"Pake uang lo dulu," balasku, lalu mulai duduk di sepeda dan mengayuh pedalnya kencang.

Aku mulai mencari Rei, menelusuri tiap lintasan bersepeda yang ada di taman ini. Sampai akhirnya kumelihat punggung Rei yang duduk di boncengan, sedangkan Dirga sebagai pengemudi.

Aku semakin cepat mengayuh sepeda hingga akhirnya berhenti di depan Rei dan Dirga. Napasku tersengal-sengal, rasanya sedikit sesak, karena terus mengayuh dengan tenaga penuh.

Ckiiit!

Terdengar suara rem yang ditarik Dirga dengan cepat, mata Rei terlihat terkejut melihatku yang menatap mereka dengan pandangan sinis. Ah entahlah! Aku sendiri tidak tau bagaimana raut mukaku saat ini.

"Gila, ya! Kalo jatuh gimana!" Dirga memarahiku dengan nada tinggi, sepertinya dia sangat geram.

Aku tidak mempedulikannya dan malah sibuk meletakkan sepeda, kemudian berjalan mendekati Rei, menatap tajam ke arah gadis mungil itu.

"Lo kenapa?" tanya Rei dengan sedikit mendongakkan kepalanya.

"Rei, naik sepeda bareng sama aku, yuk," ujarku dan meraih lembut tangan mungilnya.

.
.
.
.

Hay Hay jangan lupa tinggalkan jejak yak, bagi yg belum follow kuy follow aku gaes biar tau setiap perkembangan tulisanku, makasih, luvyu gaes 😘😘

U R My ...? [Terbit✓]Where stories live. Discover now