Dream

216 115 142
                                    

"Lusa acaranya," jawab Devan, saat aku bertanya mengenai festival seni yang akan dilaksanakan tahun ini.

Aku mengangguk pelan pertanda mengerti, sambil menyeruput es teh yang ada di tangan. Selama berjalan menuju kelas, aku dan Devan terus berbincang mengenai kegiatan tersebut.

"Kelas kita nampilin drama, 'kan?" tanya Devan yang kujawab dengan anggukan pelan.

Pertanyaannya membuatku tersadar, mengenai Rei yang hari ini berlatih untuk pementasannya yang akan tiba dua hari lagi. Aku penasaran, bagaimana wajah dingin Rei ada di atas panggung nantinya.

"Lo mikir apa?" tanya Devan.

"Mikir jorok lu ya?" tebak Devan lagi yang berhasil membuat mataku melotot.

"Enggak oi! Jangan asal tuduh gitu," jawabku kesal.

"Gue cuma mikir aja, kira-kira peran Rei di drama jadi apa," imbuhku.

"Lo gak tau? Setau gue dia jadi peran antagonis," jawab Devan.

"Beneran?" tanyaku 'tak percaya dan hanya dijawab anggukan kecil oleh Devan.

Tidak terasa kami sudah sampai ke tujuan, aku segera duduk dan masih sibuk dengan pikiranku mengenai peran Rei di drama. Bagaimana bisa wajah polosnya yang imut itu menjadi peran antagonis? pikirku. Pasti berat bagi Rei untuk berperan jahat selama latihan.

"Lihat catatan bahasa inggris lo, dong!" ucap Devan dari depan yang membuatku langsung bergerak, untuk mengambil apa yang dimintanya.

"Nih."

***

Teeet! Teeet!

Bel berbunyi, pertanda jam pelajaran telah selesai, aku dengan semangat merapikan semua yang ada di atas meja.

Tuk! Tuk!

Rei mengetuk pundakku pelan dengan telunjuknya, aku pun menoleh ke arah gadis bermata dingin itu.

"Hm?" ucapku seolah bertanya, ada apa?

"Gue pulang telat, duluan aja," jawabnya.

"Oke, Rei ada bawa payung?"

"Gak ada, lagian hari ini terang," jawab Rei singkat dan segera keluar kelas, setelah Sora mengajaknya.

Aku sempat melihat punggung kecil Rei dari belakang, sebelum dia berhasil keluar, rasanya seperti melihat kelinci kecil berlari. Bahkan sampai saat ini pun, matak umaish tertuju ke pintu yang dilalui oleh Rei beberapa detik sebelumnya.

"Ehem!" Deheman keras dari Devan, berhasil membuatku sedikit menoleh ke arahnya.

"Jangan diliatin terus pintunya, entar grogi dia," ucap Devan dan bangun dari duduknya.

"Ih! Stres lo," jawabku dan segera merapikan meja, kemudian ikut berjalan bersama Devan.

"Lo suka Rei, 'kan?"

"Enggak."

"Iya, 'kan?"

"Enggak."

Sepanjang jalan menuju gerbang, Devan terus bertanya tentang perasaanku kepada Rei. Haa ... membuat lelah saja, batinku.

"Yakin sampe sini aja?" tanya Devan meyakinkanku setelah tiba di halte.

"Iya, gue naik bis aja, lu juga mau jemput nyokap lo, 'kan?"

"Hm iya, sih. Kalo gitu duluan, ya? Awas mati, bye." Setelah itu Devan pun melaju kencang dengan sepeda motornya. 

Aku pun duduk di ujung halte, agar mudah bersandar pada tiang yang ada di sana. Rasanya hari ini lebih melelahkan dari biasanya, tugas semakin banyak dan duduk bersebelahan dengan Rei sangat menguras tenaga. Aku tidak bisa bergerak bebas, karena takut dia akan terganggu karenaku.

U R My ...? [Terbit✓]حيث تعيش القصص. اكتشف الآن