Hari Pertama Sekelas dengan Rei

501 199 374
                                    

Aku terpaku melihat mata tajam Rei yang tertuju ke arahku, jujur saja, aku bingung harus bersikap seperti apa. Hingga akhirnya, aku memutuskan untuk tersenyum lebar. Anggaplah ini seperti senyuman bodoh yang pernah kalian lihat, di layar kaca dari tokoh kartun berbentuk bintang laut.

"Hai!" sapaku dengan lambaian tangan.

Namun, tingkah Rei kembali membuatku serba salah, karena saat ini, gadis itu langsung memalingkan wajahnya, agar 'tak bertatapan denganku. Dia menutup rapat wajah dengan novel yang berada di tangannya.

Ada apa dengan Rei? Itulah yang ada di pikiranku.

Selang beberapa menit kemudian, beberapa murid mulai masuk, aku melirik jam yang berada tepat di atas papan tulis, pukul 7 lewat 15, 10 menit lagi bel akan berbunyi, tapi perasaanku masih tidak karuan untuk memulai pelajaran.

Aku kembali menurunkan ujung bibirku yang awalnya sempat terangkat untuk menyapa Rei, aku memilih mengalihkan pandangan ke ransel dan mengeluarkan buku pelajaran. Oh, ayolah! Sebenarnya aku merasa sedikit tersakiti dengan sikap Rei beberapa menit lalu. Mengacuhkan orang lain bukanlah sikap terpuji, 'kan?

"Rei!" 

Aku mendengar suara nyaring dari arah pintu, dia memanggil Rei dengan penuh semangat. Sedikit penasaran, aku mencoba melihat siapa si gadis periang tersebut.

"Waa ... kita sekelas lagi," ucap gadis itu setibanya di bangku Rei.

"Gue kira gak bakal ketemu lo di tahun terakhir, gue duduk bareng lo, ya?" imbuhnya lagi yang hanya dijawab anggukan kepala oleh Rei.

Aku terus memandang ke arah meja Rei, terlihat dia dan gadis berponi sangat dekat, meski Rei tidak begitu aktif dalam pembicaraan mereka. Sebenarnya, aku sangat ingin tau apa yang mereka bicarakan, karena Rei terlihat begitu menikmati topik perbincangan itu. Namun, terlalu sulit bagiku untuk menguping tentang apa yg dibahas para gadis di sana. Ha ... rasanya masih belum puas, karena rasa ingin tauku tidak terjawab.

Teeet! Teeet!

Bel masuk berbunyi, ah! Jangan heran, suaranya memang sedikit tidak merdu, aku pikir kepala sekolah enggan menggantinya, entahlah karena apa, padahal biaya sekolah di sini cukup mahal menurutku, setidaknya pasti cukup untuk membeli beberapa bel yang memiliki bunyi yang lebih merdu.

"Dev?" panggilku dan menggoyang tangannya sedikit kuat, tapi memang bukan Devan namanya jika bisa bangun dengan mudah.

Aku menghela napas, sepertinya sudah beberapa kali dalam pagi ini aku terus melakukan itu. Aku memiliki firasat, mungkin tahun terakhirku akan lebih sedikit berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya.

***

"Ini semua karena ulah lo, kenapa nyalahin gue?" balasku, karena tidak mau disalahkan oleh Devan.

"Waa ... jelas-jelas lo gak banguni gue, bangke," ucap Devan dan melempar satu kaleng bekas minuman ke arahku.

"Kalian bisa diam gak, sih? Kalo gini terus gimana kelarnya." Kali ini gadis berponi membuka suara, tentu saja penuh amarah.

Pasti kalian bertanya-tanya apa yang sedang aku, Devan dan gadis berponi lakukan, 'kan? Jadi, biarkan aku memutar waktu sejenak, agar kalian bisa tau apa yang terjadi beberapa saat lalu. Setelah istirahat kedua.

"Ge, lo udah tau kebiasaan gue, 'kan? Jadi mohon bantuannya, ya?" pinta Devan dengan senyum semringah, kemudian langsung meletakkan kepalanya ke atas meja. Belum sempat aku menjawab perkataannya, dia pun sudah mulai terlelap.

"Kalo ada guru banguni, ya?" ledekku dengan kesal dan mempraktikkan cara Devan berbicara.

Aku terus memantau situasi pintu kelas, memastikan bahwa tanda-tanda kehadiran guru tidak ada, karena aku tau betul siapa yang mengajar kami saat ini.

U R My ...? [Terbit✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang