Sakit

204 113 122
                                    

"Gak berantem," jawab Rei sambil menyentuh wajah.

"Liat," imbuhnya lagi dan menunjukkan tangannya.

Aku mengangguk pelan pertanda mengerti, bahwa semua itu hanyalah riasan. Aku pun bangun dari posisiku untuk duduk dengan menghadap ke arah Rei sekarang.

"Rei kehujanan?" tanyaku, karena melihat rambut dan baju Rei basah.

"Hm," jawabnya pelan, lalu bangun berdiri.

"Mau aku siapin air hangat?" tawarku yang di jawab gelengan pelan oleh Rei.

"Gue mau ke kamar dulu," balas Rei dan berlalu dari hadapanku.

Aku melihat Rei yang berjalan sedikit gontai dari biasanya, apa karena belum makan? Pikirku. Aku menghela napas kasar, entah kenapa rasanya sekarang hubunganku dan Rei tidak ada perubahan, dia masih saja dingin terhadapku. 

Bruk!

Terdengar suara hempasan kuat dari atas, aku segera bangun dan berlari menuju sumber suara. Sesampainya di sana, aku melihat Rei sudah tidak sadarkan diri, tepat di depan pintu kamarnya.

"Rei!" panggilku dan segera mendatanginya.

Aku membalikkan tubuh Rei agar menghadap ke arahku. Mengulurkan tangan ke dahi Rei, aku merasa suhu tubuh gadis mungil ini sedikit panas. Demam. Sepertinya Rei terlalu banyak terkena hujan, saat jalan ke rumah tadi.

Menggendong tubuh mungil Rei, aku kemudian membawanya masuk ke kamarku. Setelah membuka tas dan sendalnya, aku pun membaringkan tubuh Rei di atas ranjang, lalu menyelimutinya.

"Rei ...," panggilku lirih, berharap dia bisa bangun.

Aku segera mencari cara, untuk menurunkan suhu tubuh Rei dengan melihat di internet. Aku segera membuka lemari, mencari baju hangatku yang sekiranya bisa digunakan oleh Rei, karena bisa gawat jika Rei dibiarkan menggunakan baju yang basah di saat seperti ini.

"Rei ... ganti baju dulu," ucapku dengan sedikit mengguncang tubuhnya.

"Gak bangun dia. Kok gue gak sadar, ya? Kalo dia udah beneran jadi cewek sekarang," imbuhku frustasi, kemudian kembali menutup tubuh Rei dengan selimut. Oh, ayolah! Kalian mengerti maksudku, 'kan? Sesuatu yang tumbuh di setiap gadis, ketika mereka menjadi remaja.

"Huaakk! Sekarang gue harus gimana, Tuhan!" teriakku semakin panik.

Bagaimana cara mengganti pakaian Rei? Telepon Sora? Namun, rumahnya jauh dari sini, akan makan banyak waktu. Bukankah di waktu terdesak seperti ini, aku diperbolehkan menggantikan baju Rei? Tapi, kenapa rasanya tidak sopan, ya?

"Hngh ...."

Aku mendengar suara Rei dan segera menuju ke arahnya. Kulihat mata Rei yang terbuka, apa dia sudah sadar sepenuhnya? Aku benar-benar bingung saat ini.

"Rei, ganti baju dulu," ucapku dan memberikan bajuku kepadanya dengan gugup.

"Hm," sahut Rei dengan tangan yang terlihat ingin membuka kancing seragamnya.

"Tunggu!" teriakku panik dan segera pergi dari sana.

Setibanya di luar, aku langsung bernapas lega. Ha ... bagaimana menjelaskannya, ya? Apa aku harus diam saja di sana, lalu melihat Rei membuka bajunya?  Tentu tidak.

Selang beberapa menit, aku kembali masuk ke dala. Tampak Rei sudah kembali tenang di dalam tidurnya. Terlihat baju Rei yang sebelumnya ia kenakan, tergelak asal di lantai.

Aku berjalan mendekati Rei, melihat wajahnya yang masih dipenuhi oleh riasan. Aku berpikir untuk mencari sesuatu, agar bisa membersihkannya. Namun, tanganku kembali menyentuh dahi Rei, tanpa diminta.

U R My ...? [Terbit✓]Where stories live. Discover now