Rei Antagonis yang Mati

209 111 129
                                    

Hari yang dinanti pun tiba, perayaan festival di sekolahku sudah berlangsung sejak pagi ini. Aku, Devan dan Dirga dengan penuh semangat berjalan menuju aula, untuk melihat pertunjukan kelas, tentu saja, di sana aku bisa melihat Rei tampil.

"Oi! Lo yang beli camilan ama minumnya, ya?" tanya Devan kepada Dirga.

"Kita cuma mau nonton drama di aula, bukan nonton film di bioskop, njir," balasku, karena kesal melihat kedua orang ini sibuk sendiri, dan menghabiskan banyak waktu di tenda penjual makanan ringan.

"Santuy aja, lagian masih ada setengah jam lagi waktu mereka tampil, 'kan?" ucap Dirga yang masih terlihat sibuk, memilih makanan untuk dibawa menonton pertunjukkan.

Semenjak pergantian tempat duduk, aku dan Devan mulai akrab dengan Dirga. Dia tipe orang yang supel dan mudah diajak bercanda, meski terkadang tingkahnya sedikit membuatku kesal karena sering menggoda Rei. Tunggu, kesal? Bagaimana bisa? Ah! Entahlah aku sendiri tidak tau kenapa.

"Kok lama banget oi! Nanti kita gak kebagian duduk di depan," ucapku penuh kekesalan.

"Iya ya, ini udah kelar. Marah mulu, sih! PMS lo? " balas Devan dengan nada meledek.

"Iya sensi terus dari tadi," lanjut Dirga dengan menyeruput minumannya.

"Sejak kapan kalian jadi kompak gini, njir!" kataku penuh kekesalan.

"Yuk, Dirga. Kita tinggalin aja dia, lama banget dari tadi ngomel aja taunya," ucap Devan dan berjalan bersama Dirga mendahuluiku.

"Kalian yang buat lama, bangke!" teriakku dengan sedikit berlari mengejar mereka.

Sesampainya di tempat, aku dibuat terkejut dengan kondisi sekeliling. Semua kursi sudah hampir penuh, terutama kursi yang ada di depan, sudah tidak tersisa sama sekali, padahal masih ada waktu 15 menit sebelum penampilan dimulai. Aku mendengus kesal ke arah Dirga dan Devan. Namun, kedua makhluk itu terlihat sibuk dengan semua makanan yang sempat mereka beli sebelumnya.

"Duduk di mana aja bisa," ucap Devan, kemudian berjalan langsung ke depan dengan tangan penuh bungkusan makanan.

"Dia mau ke mana?" tanyaku, kepada Dirga yang dijawab gelengan pelan.

"Ikutin aja, lah," ujar Dirga, lalu melangkahkan kakinya mengikuti Devan.

Aku mengikuti kedua temanku itu, berharap sesuatu yang baik akan terjadi. Setelah beberapa menit menyusuri tiap deretan kursi yang sudah tersusun rapi,  aku, Devan dan Dirga berhenti tepat di barisan paling depan. Aku menatap bingung Devan, berharap ada penjelasan dari tingkahnya kali ini. Bagaimana mungkin tidak bingung? Devan membawa aku dan Dirga ke tempat yang sudah tidak ada bangku kosong lagi.

"Mau duduk di mana?" tanya Dirga yang sama bingungnya denganku.

"Ni," jawab Devan ringan seringan bulu ayam, kemudian duduk di lantai dengan rasa bangga, bahkan dia tidak memperdulikan orang yang duduk di atas kursi, tepat di belakang kami yang terus melihat ke arahnya. Setelah kupikir, sepertinya memang urat malu Devan telah sirna, dimakan rayap.

"Kenapa lihat-lihat? Mau duduk bareng sama gue di sini?" ucap Devan ke arah murid yang sedari tadi memperhatikannya, kemudian dia kembali asik dengan makanan yang dibawa. Haa ... aku tidak habis pikir, bagaimana bisa aku bertahan berteman dengannya, selama beberapa tahun/

Jujur saja, saat ini ingin rasanya aku memaki Devan dengan nada sekeras mungkin. Aku mengikutinya dan akhirnya berakhir duduk di bawah? Yang benar saja, setidaknya aku ingin terlihat lebih terhormat, karena sudah menjadi siswa tahun akhir sekarang.

"Oh, di sini ...." ucap Dirga, kemudian ikut duduk bersama Devan di bawah sana.

"Terserah kalian mau duduk di situ, gue mau balik ke belakang aja," kataku dan hendak berjalan meninggalkan mereka.

U R My ...? [Terbit✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang