"Ini udah jalan hidupnya Aiza."."

"Fakhri keterlaluan. Awas aja kalau ketemu gue omelin habis-habis. Kalau bisa gue tenggelamkan dari peradaban."

Aiza terkekeh, menghapus air matanya lalu melepaskan pelukannya dari Fani. "Kayaknya Aiza harus masuk, Fan." Pemberitahuan dari pesawat yang akan ditumpanginya membuat Aiza beranjak dari duduknya.

"Lo hati-hati ya. Kabarin gue kalau udah sampai." Aiza mengangguk. Fani juga sudah berdiri di sampingnya Setelah meraih handle koper, Aiza berjalan menuju longue setelah sebelumnya mengucapkan salam dan melambaikan tangan pada Fani.

Aiza melangkah berat dengan air mata tertahan, pergi secara diam-diam tanpa ada yang tahu selain Fani membuatnya seperti orang yang kabur dari masalah. Seharusnya Aiza menyelesaikan masalah, bukan lari dari masalah. Tapi perasaannya tidak lagi dapat ditoleransi, terlebih melihat sikap Fakhri yang biasa saja dengan kepergiannya, membuat hati Aiza ngilu.

Aiza menghapus buliran air mata yang berhasil jatuh ke pipinya. Berjalan cepat menuju longue. Jika ini yang terbaik untuknya, mungkin memang jarak yang harus dilakukannya.

Selamat tinggal Jakarta.

***

Aiza sampai di Bandara pukul 16.55 WIB. Setelah mendapatkan barangnya dan juga melaksanakan sholat, Aiza berjalan keluarmencari taxi yang mungkin bisa membawanya ke rumah Oma. Tidak jauh dari posisinya, Aiza melihat taxi yang baru saja menurunkan penumpang. Aiza tersenyum, berjalan cepat menarik kopernya. Seolah tahu ia ingin menaiki taxi, sopir taxi yang terlihat berumur lima puluh dengan semangat menghampirinya.

"Taxi?"

Aiza mengangguk. Kopernya diambil untuk dimasukan ke dalam mobil. Setelah duduk di bangku dan mengatakan tujuannya, taxi kemudian melaju keluar dari lingkungan Bandara.

Aiza mengalihkan padangannya ke luar jendela. Rasanya sudah lama ia tidak ke rumah Oma. Terakhir saat liburan SMA. Itu juga sudah dua tahun yang lalu ketika bersama orang tuanya dan Arisha.

Kali ini, Aiza bukanlah ke rumah orang tua kandung Bunda, namun saudara dari orang tua Bunda. Aiza tidak ingin Bunda tahu bahwa ia ke Aceh, ia takut saat Oma Fitri bertanya pasti nanti Bunda dikasih tahu.

Aiza menatap jalanan yang tidak begitu ramai, matanya sibuk menatap jalanan yang dilewatinya. Udara yang terlihat begitu sejuk membuat Aiza kini menurunkan setengah kaca jendela. Aiza tersenyum, menarik napas dalam membuangnya perlahan, lalu dipejamkan matanya merasakan segarnya udara di sana.

"Yah ...."

Ternyata langit yang terlihat kelabu kini menurunkan tetesan hujannya. Udara dingin perlahan menusuk dan tidak lama kemudian hujan deras jatuh mengguyur bumi dengan lebat. Aiza menutup kaca jendela seraya berdoa semoga hujan saat ini menjadi rahmat bagi penduduk di sini dan untuknya.

Jarak bandara ke rumah Oma yang sedikit jauh, membutuhkan perjalanan satu jam membuat Aiza kini menyandarkan kepalanya disandaran mobil. Udara yang cukup dingin membuat matanya mengantuk. Aiza menguap, membaca ta'awudz dan setelahnya ia mulai tertidur.

"Ayo kita bercerai!"

"Apa kamu nggak sadar di sini kamu yang ngerusak segalanya. Arisha harus ngorbanin segalanya demi kamu."

"Kak Arisha apa itu benar?"

Arisha mengangguk, membuat air mata menggenang di pipi Aiza. "Jadi Kak Arisha mencintai Mas Fakhri dan ngorbanin perasaan demi Aiza?"

"Aku harus mengalah demi kebahagian kamu, Za."

Aiza menenggalamkan wajahnya pada telapak tangan. Jadi di sini ia yang merusak segalanya, merusak kebahagian Arisha dan Fakhri?

"Ayo Arisha!"

"Mas Fakhri ke mana?" Aiza menatap pilu Fakhri yang mengajak Arisha pergi.

"Aku akan bersama Arisha."

"Mas?"

Aiza terisak begitu Fakhri pergi saja bersama Arisha, meninggalkannya yang terisak hebat. "Mas Fakhri ..."

"Enggak ..."

Aiza terbangun dari tidurnya dengan napas memburu. Air matanya ikut jatuh seiring itu. Menatap sekitarnya Aiza sadar ia baru saja mimpi. Namun kenapa terasa nyata? Kenapa ia memimpikan hal yang membuat hatinya kembali sakit?

Aiza menghapus air matanya, ia melihat hujan yang kini turun dengan deras. Menatap jalanan di depannya, Aiza dikagetkan dengan cahaya lampu mobil yang berjarak dua meter didepannya. Mata Aiza membulat

"PAK AWAS ..." teriak Aiza.

Sopir taxi yang hampir tertidur tersentak, buru-buru sopir itu mengendalikan setir karena di depannya Truk besar. Berhasil mengalihkan, namun naasnya mobil meleset dan kecelakaan tidak lagi bisa dihindarkan.

BRUK

"Astaghfirullah ..."

Taxi menghantam pembatas jalan dengan jurang, Aiza mendesis begitu badannya terapit ke jendela. Posisi mobil oleng ke samping, satu gerakan saja, bisa menyebabkan taxi itu meluncur mulus.

Aiza mengigit bibirnya dengan ketakutan yang membuncah, air matanya mengalir deras. Ia mencicit, mengucap istighfar. Mata Aiza membulat begitu dihadapannya ada jurang.

Apa ini akhir dari segalanya? Aiza memang berniat pergi, tapi bukan seperti ini.

Allah apa ini sudah janjiannya? Jika iya Aiza pasrah. Kini wajah Ayah, Bunda dan Arisha berputar di benaknya.

Maafin Aiza ... Aiza terisak.

"M-mbak jangan bergerak." Suara bergetar dari depannya menarik Aiza dari pikiran putus asa, Aiza membuka mata dan memekik begitu mobil bergerak ke bawah.

Djuar!!

Sebuah motor menghantam secara harizontal, membuat taxi mereka bergeser. Ketakutan Aiza kian menjadi. Tepat ketika terdengar suara di sampingnya, ledakan keras terdengar.

"Ya Allah ..." Aiza memejamkan matanya seiring tubuh ya kian lemah.

Innalillahi wa innailaihi raji'un

***

Bukan Aku yang Dia Inginkan [ Publish lengkap ]Onde histórias criam vida. Descubra agora