#14 Sakit

90.7K 11.4K 283
                                    

"Sesungguhnya Allah benar-benar akan menguji hamba-Nya dengan penyakit, sehingga ia menghapuskan setiap dosa darinya."

(HR. Al-Hakim)

####

Lima menit di dapur Aiza sudah kembali dengan nampan yang berisi segelas teh hangat dan makanan. Begitu mengetuk pintu, ia mendengar sahutan masuk dari Fakhri. Perhatiannya kini teralih pada Fakhri yang berbaring di atas kasur. Aiza berjalan lebih dalam, meletakkan nampan di atas nakas, lalu menatap Fakhri yang mengubah posisi tubuhnya menjadi duduk.

"Mas sakit?"

Fakhri menggeleng.

Aiza yang melihat itu sejujurnya tidak yakin, Fakhri terlihat tanpak lesu. ditambah lagi kini kembali bersin. Dengan berani ia meletakkan punggung tangannya di dahi Fakhri. Aiza langsung terkejut begitu merasakan hawa panas menyentuh kulitnya.

"Mas demam."

Fakhri menurunkan tangan Aiza. "Cuma demam biasa, nggak apa-apa," jawab Fakhri yang kemudian diriingi bersin dan flu. 

"Nggak apa-apa gimana? Ini aja udah bersin dan flu, badan

Mas juga panas."

"Besok pagi udah sehat," yakin Fakhri, lalu mengambil gelas berisi teh hangat dan meneguknya.

"Kita ke dokter, ya, Mas?" 

"Nggak usah."

"Tapi, kan—"

"Udah, nggak apa-apa." Fakhri merebahkan dirinya untuk tidur setelah meletakkan gelas di nakas.

Aiza murung, Fakhri yang mengatakan seperti itu tetap saja membuatnya khawatir. 

"Aiza mau ambil kompres sama obat sebentar," putusnya dan beranjak dari sana, mengabaikan Fakhri yang melarangnya.

Lima menit berlalu Aiza sudah kembali lagi. Melihat Fakhri yang terlelap, membuatnya tidak tega sekedar membangunkan. Tapi Fakhri juga harus minum obat agar besok pagi panasnya reda.

"Mas, minum obat dulu." Aiza membangunkan Fakhri dengan menyentuh tangan suaminya pelan.

"Hm." Fakhri bergumam pelan, membuka matanya yang terasa panas.

"Minum obat dulu, Mas."

Fakhri menghela napas kecil, menatap Aiza yang tetap membawa kompresan dan obat. Ia kemudian mengubah posisinya menjadi duduk dan bersandar. 

"Kan udah saya bilang nggak usah."

"Aiza, kan, khawatir, Mas."

Fakhri menghela napas, menatap Aiza sesaat. "Mas tadi udah makan malam?"

"Udah."

Aiza menyodorkan obat sekaligus segelas air putih hangat pada Fakhri. "Ini obat pereda panas. Mas minum, ya."

Fakhri mengambilnya, meminum obat tanpa komentar. Setelah memberikan lagi pada Aiza, ia mengubah posisinya menjadi tidur.

"Mas pusing?" 

"Sedikit."

"Aiza kompres, ya."

Aiza mengambil kompresan yang sebelumnya sudah ia bawa. Ia meremas kain yang telah dibasahi sebelumnya kemudian meletakkannya di dahi Fakhri.

Fakhri terlihat tenang tidak berkomentar. Membiarkan Aiza melakukannya. 

"Terima kasih, Za."

Aiza mengerjap tidak percaya mendengar kata itu, Fakhri kini sudah memejamkan mata setelah menatapnya sesaat. Perlahan senyum Aiza mengembang, hatinya berbunga. Meskipun kata terima kasih sangat sederhana, tapi untuknya itu suatu yang luar biasa.

Oh Allah....

"Sama-sama, Mas."

Aiza mengulum senyum senang.

Tidak terasa kini waktu sudah menunjukkan pukul satu pagi, Fakhri juga sudah terlelap tidur. Aiza menopang tangannya di sisi kasur, menatap Fakhri yang tertidur nyenyak sambil tersenyum.

"Mas tahu, Aiza mencintai Mas Fakhri. Tapi-" Senyumnya perlahan pudar. "Kenapa Mas nggak mencintai Aiza?" Ia menatap sendu Fakhri. Nyatanya sikap cuek dan dingin Fakhri selama ini membuktikan Fakhri tidak mencintainya. Cintanya bertepuk sebelah tangan.

Aiza mengembus napas sesak, membalikkan kain kompresan Fakhri. "Semoga besok panasnya udah reda," ucapnya sambil tersenyum. Lalumenduduki tubuhnya di lantai. Aiza tidak beranjak sedikit pun dari kamar Fakhri, ia tetap di sana membalikkan dan membasahi kain kompresan.

******

Mendengar azan yang samar-samar berbunyi membuat Aiza membuka matanya yang terasa berat. Ia menggeliat, menyipit

kala mendapati cahaya lampu yang berhasil menerobos masuk ke retinanya.

"Lima menit lagi azan. Cepat wudu, saya tunggu."

Aiza memusatkan perhatiannya kesumber suara, samar-samar ia melihat Fakhri yang membentangkan sajadah. Sontak Aiza langsung terduduk di kasur karena kaget.

"Mas Fakhri ngapain di kamar Aiza?"

Fakhri mengernyitkan dahinya. "Kamar kamu atau saya?" Aiza menatap sekeliling dan menepuk jidatnya. "Oh iya,

kamar Mas Fakhri." Ia cengengesan. "Tapi, kok—"

Kenapa tiba-tiba di atas kasur?

"Saya yang pindahin kamu," jawab Fakhri seolah mengerti kebingungannya. Pipi Aiza bersemu merah.

"Mas udah baikan?" "Alhamdulillah."

Aiza tersenyum. Begitu teringat ajakan Fakhri, ia langsung mengerucutkan bibirnya. Siapa yang tidak senang diajak salat berjamaah olehsuami? Ini hal yang dirindukannya, tapi kenapa waktunya tidak tepat? Rasanya Aiza ingin menangis saja karena sedang tidak salat.

"Aiza nggak salat," lirih Aiza sedih. Fakhri tidak merespons lagi, sudah duduk di atas sajadah. Embusan napas pelan terdengar dari bibir Aiza, ia beralih menatap jam dinding yang menunjukkan pukul lima kurang. Sepertinya ia harus bersiap-siap membersihkan diri dan melakukan tugas paginya.

Aiza bangkit dari posisinya, meraih kompresan, gelas yang kosong, serta obat-obatan untuk dibawa ke bawah. "Aiza ke kamar dulu, ya, Mas."

Fakhri mengangguk. Sebelum mandi, ia memilih membuatkan sarapan dulu untuk Fakhri, barlanjut membuat jus jambu biji.

***

⭐⭐

Bukan Aku yang Dia Inginkan [ Publish lengkap ]Where stories live. Discover now