#25 Pergi

152K 13.7K 546
                                    

"Andai menghilangkan rasa seperti menghilangkan debu yang tersiram hujan, mungkin secapat itu juga rasa ini akan hilang. Namun semuanya hanya angan-angan. Nyatanya menghilangkan rasa tidak semudah yang dibayangkan."

Aiza Humairah
~Karya sarifatulhusni~

Pagi ini Fakhri harus menyiapkan barang bawaan untuk kepergiannya menuju Bandung. Perusahaan cabang yang sedang bermasalah membuatnya mau tdak mau harus ke sana untuk menyelesaikan

Fakhri membuka pintu yang sengaja ia kunci, masuk seraya berucap salam. Semalam ia telah menyiapkan beberapa pakaian dan kini tinggal memasukan ke dalam koper yang tidak terlalu besar. Setelah memastikan berkas-berkas yang diperlukan, Fakhri meletakkan barangnya didekat pintu.

Kaki Fakhri melangkahkan enuju tangga. Satu tangan kanannya sibuk memegang handle koper sementara satu tangan lagi sibuk memegang ponsel, sedang menelfon.

"Iya, keberangkatan saya jam delapan pagi. Kamu tolong handle di kantor. Berkas saya sudah lengkap semua?"

"..."

"Oke. Pastikan nggak ada yang inggal."

Fakhri mematikan telfonnya seiring langkahnya terhenti di lantai dasar. Memasukan ponselnya ke saku celana, mata Fakhri menyisir sekeliling yang begitu lengang. Ruang makan yang biasanya saat ini sudah hidup dengan aktifitas Aiza, kini begitu hening dan gelap. Fakhri kembali teringat akan Aiza yang semalam pergi membawa koper.

"Di mana dia?'

Beberapa detik kemudian Fakhri menggeleng tidak peduli. Memilih melanjutkan langkahnya dan menitipkan rumah ke satpam. Dalam pikirannya, Aiza akan balik lagi ke rumah saat ia di luar kota.

***

"Lo yakin mau pergi?"

Aiza yang membereskan barang bawaannya menoleh sebentar sebelum akhirnya mengangguk. Siang ini ia akan memilih pergi ke rumah Oma yang di Aceh. Aiza merasa perlu pergi ke suatu tempat untuk menenangkan diriya. Selama ini ia merasa tertekan dan tidak merasakan manisnya hidup dalam pernikahan.

"Tapi kejauhan, Za."

Aiza tersenyum kecil. "Sekalian berlibur, Fan. Lagian udah selesai UAS juga kan?"

Fani menghembuskan napas kecil. Jika saja Aiza tidak melarangnya, Fani lebih memilih ikut menemani sahabatnya.

"Gue antar ya ke Bandara?" Aiza tertawa kecil, ia mengangguk.

Setelah makan sebentar Aiza membawa barang-barangnya menuju bagasi. Kali ini ia diantar Fani dengan mobil sahabatnya sendiri.

"Jangan kasih tahu siapapun ya, termasuk Bunda." Fani sudah melajukan mobilnya menuju bandara. Fani menoleh.

"Apa gue harus ngerahasiain ini, Za?" Aiza mengangguk. Fani menatap iba sahabatnya. Aiza tidak jujur akan masalahnya meskipun Fani sudah memaksa. Aiza hanya menangis dan mengatakan lelah dan menyerah.

Perjalanan yang membutuhkan waktu dua puluh menit tidak terlalu lamakarena diisi dengen percakapan ke dua sahabat itu. Pukul dua siang Aiza sudah sampai di bandara. Kini Aiza dan Fani sudah duduk di kursi tunggu. Pesawat akan take off dua puluh menit lagi.

"Gue nggak tau apa masalah sebenarnya, gue yakin ini pasti berat buat lo. Lo harus kuat ya. Kalau lo pengen cerita, cerita aja. Gue janji akan ngerahasian atas permintaan lo."

Aiza hanya mengangguk, membuat Fani kini berhembur memeluk sahabatnya.

"Harusnya lo cerita ke gue, Za. Ini pasti berat banget buat lo. Selama ini pasti lo udah menderita kan?"Aiza membalas pelukan Fani. Ia tersenyum samar dengan air mata yang kini keluar dari sudut matanya.

Bukan Aku yang Dia Inginkan [ Publish lengkap ]Onde as histórias ganham vida. Descobre agora