09

2.8K 464 141
                                    


Terkadang Jiandra penasaran

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Terkadang Jiandra penasaran. Seperti apakah kehidupan orang lain di luar sana? Apakah orangtua mereka juga suka memukul? Bagaimana rasanya berlibur dengan keluarga? Bagiamana rasanya seharian penuh bercanda dengan keluarga?"

Sebab Jiandra tidak pernah merasakan itu. Ekspektasinya ketika ia diadopsi oleh keluarga Axton Oliver terlalu tinggi. Terakhir kali ia merasakan bercanda seharian penuh dan disayang oleh Oliver serta Johansson adalah ketika ia usia 2 SD. Setelah itu, frekuensi ia bermain-main dengan keluarganya snediri pun sudah bisa dihitung jari. Oliver dan Johansson terlalu sibuk dengan pekerjaan. Oliver mudah marah jika Jiandra mengganggu atau melakukan sesuatu yang tidak sesuai keinginannya. Oliver memukul. Menyetir hidup Jiandra. Menjadi neraka bagi Jiandra.

Sosok superhero yang Jiandra lihat saat pertama kali bertemu Oliver, digantikan dengan sosok lain yang tidak ia kenal.

Tetapi, Jiandra tetap tidak bisa protes dan semena-mena. Ia bisa memiliki keluarga karena Oliver. Maka dari itu, Jiandra pikir ia harus tetap balas budi dan menghormati Oliver serta Johansson sebagai orangtuanya. Meski sampai ia remaja kini, rasanya terdapat dinding kaca yang tebal di depan Jiandra. Menampilkan Oliver, Johansson serta Tama yang bersenda gurau tanpanya dan ia hanya bisa melihat dari dinding kaca yang tebal tanpa bisa masuk.

Apakah semua orang juga begitu?

"Ayah! Jangan pukul Tama! Tama nggak salah apa-apa! Aku yang ngajak Tama nginep di rumah Papoy! Ayah!!!"

Berulang kali Jiandra menahan tangan Oliver yang sudah terangkat ke atas. Menarik-narik Oliver menjauh sambil berteriak. Oliver menepis tangan Jiandra. Ia cengkeram kuat pergelangan tangan Jiandra dan menarik Jiandra menjauh. Menyeret Jiandra masuk ke ruang kerjanya di rumah yang kedap suara. Oliver melepas cengkeraman tangannya dengan kasar sampai Jiandra mundur beberapa langkah. Pintu ruang kerja Oliver tertutup.

"Ayahmu itu siapa, Jiandra?" tanya Oliver seraya mendekat. Jiandra mundur, badannya sampai menabrak meja. Ia meraba sekeliling, langkahnya terhenti di pojok ruangan. Punggungnya menempel pada dinding.

"Nggak usah minta tolong Papoy Papoy apalah itu. Nggak usah ketemu-ketemu Papoymu itu lagi. Bukannya belajar, malah nyia-nyiain waktu buat main."

Jiandra menyilangkan tangan di dada. Kepalanya terpaling ke samping dengan mata yang sontak memejam erat ketika melihat tangan Oliver sudah terangkat.

"Ngomong, Jiandra. Jangan kayak orang bisu."

"Iya, Yah. Nanti aku belajar," ucap Jiandra lirih dengan suara yang bergetar.

"Nggak usah caper ke Papoymu biar Ayah nggak dipersulit di kantor. Kalau kamu masih maksa ketemu si Papoy Papoy itu, Ayah bisa aja bikin Papoymu lebih dari sekedar masuk IGD gara-gara ketabrak kayak kemarin. Kamu liat lukanya di kepalanya? Itu baru peringatan aja."

Oliver mengusap kepala Jiandra.

"Ayah itu sayang kamu, Ji. Ayah gini buat kebaikan kamu juga. Ya? Papoymu itu pengaruh buruk buat kamu dan Ayah nggak mau kamu terjerumus kepengaruh."

Jiandra masih memejamkan matanya erat. Tidak berani menjawab dan tidak berani bergerak sedikit pun. Oliver mengepalkan tangan.

PLAK!

Satu tamparan diterima Jiandra.

"Ngomong," titah Oliver, tetapi Jiandra tetap diam.

PLAK!

Tamparan kedua diterima Jiandra.

"Iya—Aku nggak bakalan ketemu Papoy lagi," ucap Jiandra pelan.

"Tama juga. Kamu yang urus semuanya. Jangan sampai Ayah pergokin kalian berdua ketemu diem-diem di luar. Kalau nggak," Oliver tepuk pundak Jiandra. "Kamu tau sendiri apa yang bakalan Ayah lakuin ke Papoymu."

Jiandra mengangguk dan Oliver langsung menjauhkan tangan. "Good boy."

Tanpa berpamitan, Oliver melangkah menjauh. Keluar dari ruang kerja dan meninggalkan Jiandra sendirian di sana. Jiandra genggam sendiri tangannya yang gemetar. Bersandar penuh pada dinding ruang kerja Oliver dengan dada yang masih berdegup kencang. Ia raih ponsel dalam saku celananya yang bergetar sejak tadi ketika diseret Oliver masuk ke dalam ruang kerja.

Ia tatap layar ponselnya cukup lama. Melihat nama kontak yang meneleponnya berulang kali.

Papoooooy

Jiandra masih diam. Menunggu teleponnya mati dengan mata yang mulai memanas. Ia duduk di lantai dengan punggung yang bersandar di dinding. Melihat nama kontak yang terus muncul pada layar teleponnya. Jiandra letakkan ponselnya pada lantai dengan terbalik. Ia menekuk kaki. Menumpukan siku pada lutut dan menutup wajah.

Apa semua anak di luar sana juga dipukul orangtuanya seperti ini jika tidak menurut?

Dengan dada yang sesak setengah mati, Jiandra menghela napas berat. Suara getar dari ponselnya masih terdengar. Ia terisak. Mendadak teringat bagaimana Namjoon memperlakukanya semenjak ia masih berada di panti asuhan. Membeli-belikan es krim sampai Jiandra kembung karena terlalu banyak makan es krim. Mengajak Jiandra jalan-jalan ke pantai. Mendukung semua hobi Jiandra dan membantu Jiandra saat mengerjakan tugas sekolah yang susah. Mengajari Jiandra cara presentasi yang benar di depan kelas. Menjadi tempat pulang dan tempat kabur bagi Jiandra ketika ia bertengkar dengan ayah angkatnya seperti sekarang.

Sering dengan bangga menceritakan prestasi Jiandra pada Bunda Rara panti asuhan ketika mereka mengunjungi Rumah Bulan—panti asuhan Jiandra dulu. Menceritakan bahwa Jiandra itu multitalent. Bahkan kemarin, saat asma Jiandra kambuh karena dipukuli Oliver, Namjoon menyebut Jiandra sebagai anaknya, tatkala ayah angkat Jiandra sendiri tidak pernah mengakui Jiandra.

Ponsel Jiandra berhenti bergetar. Tetapi Jiandramasih terisak pelan. Sesekali menahan isaknya sampai ia sesenggukan tanpasuara.

 Sesekali menahan isaknya sampai ia sesenggukan tanpasuara

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Mellifluous ✔ [OPEN PO]Where stories live. Discover now