28. Firasat

436 59 2
                                    

--Follow penulisnya, votement ceritanya

.

Semalam aku bermimpi cukup aneh dan agak mengerikan sampai-sampai aku terbangun dengan peluh bercucuran. Aku ber-istigfar dalam hati berkali-kali demi mengusir bekas menakutkan yang menari-nari di pelupuk mata. Ini bukan mimpi dikejar hantu tapi mimpiku itu bagaikan pertanda apa yang akan terjadi di masa depan.

Aku tidak mau terlalu jauh berpikiran yang buruk. Mungkin saja itu memang hanya bunga mimpi yang tidak ada artinya. Makanya, aku pergi ke kantor dengan perasaan biasa saja dan berusaha mengenyahkan mimpi aneh itu.

Kehebohan soal pemberitaan Dito masih membuat GP riuh oleh pembahasan tersebut. Bahkan pak Jamal dengan sengaja mencegatku di pintu masuk dan menanyakan perihal kebenaran berita tersebut. Dito memang baru beberapa bulan bekerja di sini, tapi karena sikapnya yang easy going membuatnya mudah dikenali orang-orang GP. Dan aku yang notabene-nya sudah terkenal sebagai pacar seorang Dito si pewaris tunggal hanya bisa mengelak dengan halus dan berlalu meninggalkan tanda tanya di benak orang. Biarlah mereka menggunjingkanku, aku sudah terbiasa.

Aku memilih untuk mengurung diri di kantor seharian --oh iya, perlu kalian tahu kalau si siluman bocah berbadan bongsor itu malah absen tanpa memberi kabar. Aku juga awalnya sempat heran karena Dito tak kunjung datang setelah 30 menit jam kantor dimulai. Meski ragu aku pun mencoba menghubunginya dan kalian tahu apa? Si operator wanita yang menjawab panggilanku. Kemana kiranya Dito-ku? Malu ku akui tapi benar adanya kalau aku sudah kecanduan hadirnya.

Hingga pada jam pulang kantor, masih tak ada telepon dari Dito. Nomornya masih tidak aktif dan aku semakin resah. Bayangan buruk soal mimpi semalam kembali membayangi. Benarkah mimpi itu hanya bunga tidur semata? Ataukah memang sesuatu yang besar akan terjadi? Aku hanya berdoa kalau itu hanya fantasi liarku saja dan bergegas pulang karena ada janji temu yang harus kupenuhi.

.
.
.

Aku mengenakan baju terbaikku --baju yang sedikit cerah dan tidak kusam seperti kebanyakan baju-bajuku yang lain. Ini bukan karena aku ingin tampil mempesona di hadapan pria yang akan dikenalkan mas Farid, hanya saja aku ingin menghargai mas Farid dan bu Lastri agar tidak hilang muka karena penampilan lusuhku. Sekarang aku sudah duduk di bangku belakang taksi online dengan pak supir yang menyetel musik lawas tahun 80'an. Mendadak aku ingin mendengarkan suara ajaib Franky untuk mengendurkan urat-urat dan sarafku yang menegang.

Ponsel masih dalam genggaman seperti aku tengah menunggu panggilan seseorang. Dito, pasti kalian berpikir demikian. Dan boleh aku katakan itu memang benar adanya. Aku akui kalau aku mencemaskan Dito semenjak kabar tentang jati dirinya yang terkuak. Pikiran gilaku menyusun skenario dikurungnya Dito oleh keluarga besarnya dan dituntut untuk menjalankan bisnis raksasa keluarganya seperti yang terjadi di film-film atau novel yang aku revisi.

"Mbak!"

Aku tersadar dari lamunan liarku dan menemukan pak supir tersenyum hangat padaku karena telah mengantarkan aku selamat hingga depan rumah mas Farid. Ku berikan ongkos lebih pada pak supir karena terlalu malas menunggu kembalian. Baru saja aku mau membuka pagar rumah, bu Lastri sudah keluar dari rumah lebih dulu, bermuka cerah dan senyum teduh khas-nya.

"Eh, ternyata datang lebih cepat. Ibu pikir yang turun tadi mas Lukman."

Oh-- jadi nama pria yang akan dipertemukan denganku adalah Lukman. "Jalanan gak macet, bu." jawabku sambil mencium punggung tangannya.

"Ya udah hayu masuk."

Di dalam, mas Farid nampak duduk bersantai di ruang keluarga berfokus pada ponsel. Ia menyapaku dan berkali-kali mengucapkan terima kasih karena bersedia datang memenuhi permintaannya. Aku tersenyum canggung karena aku memang tidak bermaksud lebih atas pertemuan ini. Sudah aku tekankan ini semua hanya demi kesopanan saja.

It's Starts From Fortune Cookies [Completed]Where stories live. Discover now