20. Cemburu Itu Wajar, Kok!

737 80 6
                                    

--Follow penulisnya, votement ceritanya

.

Aku terbangun dengan perasaan ringan. Bangun secara alami bukan karena alarm ataupun sayup-sayup suara adzan yang menembus dinding apartemen. Tidurku benar-benar nyenyak setelah mendengar nyanyian syahdu yang membuai. Dan seketika aku merasakan debaran yang ekstrem soal harus bagaimana bersikap di depan Dito. Karena semenjak semalam, ada yang berubah diantara kami jadi tidak mungkin aku mempertahankan raut ketus yang dulu.

Tiba-tiba suara ketukan di pintu hampir saja membuatku meloncat kaget. Aku dilanda perasaan panik,

"Miss, sudah bangun?"

"Y-ya."

"Saya ijin keluar sebentar, cari musola yang deket."

"Ya."

Selepas itu, ku pasang telinga baik-baik mendengarkan dengan seksama kepergian Dito. Barulah saat terdengar pintu terbuka dan tertutup, aku bisa menghembuskan nafas lega. Aku menyingkap selimut dan meraba dengan kaki mencari sandal rumah berbulu ku. Meski sudah dipastikan tidak ada eksistensi makhluk hidup --selain Lupus-- di apartemenku, namun aku dengan konyolnya ingin memastikan dengan mengintip diantara celah pintu kamar. Dan aku bersyukur benar-benar sendiri kali ini.

Setelah aku menyelesaikan segala ritual subuh-ku, aku memilih duduk di kamar dengan perasaan cemas sambil menunggu kedatangan Dito. Ini untuk pertama kalinya aku nekat membawa pria asing menginap di rumahku. Dan aku kini dilanda gelisah harus bagaimana bersikap di hadapan Dito. Apa aku harus menyambutnya dengan secangkir teh hangat di pagi hari serta membuatkannya sarapan? Atau bersikap acuh seolah-olah ini bukan hal besar?

"Miss?"

Jantungku rasanya akan copot kembali. Kapan Dito datang?! Kenapa aku tidak mendengar suara pintu terbuka?!

Aku terlalu gugup untuk menjawabnya seperti anak perawan yang baru menghabiskan malam pertama saja. Tingkah laku ku yang malu-malu membuat diriku sendiri jengah melihatnya. Makanya, aku memilih merangkak kembali ke atas kasur dan bersembunyi di bawah selimut demi menutupi pipi ku yang merona.

"Tidur lagi?" serunya kembali karena tak mendengar sahutan dariku.

Setelah itu aku tak mendengar apapun, apa itu karena aku kembali terlelap dalam alam mimpi?

Desakan panggilan alam membuat mataku terbuka seketika. Aku panik dan menoleh --diantara mataku yang belum fokus pada jam digital di samping nakas. Aku membelalak kaget dan panik melanda kalau aku terlambat bangun. Dengan perasaan kalang kabut aku menerobos kamar untuk bersiap mandi.

"Pagi!"

Oh sialan! Kaki ku terantuk sudut tembok dalam usahaku berlari secepat Flash menuju kamar mandi. Langkahku terhenti karena mendengar seruan ceria itu. Dito berdiri dengan indahnya di tengah dapur ku yang sederhana. Ia memegang cangkir dengan senyuman secerah sinar mentari. Sepertinya aku sudah terlanjur jatuh dalam pesona Dito.

Panggilan alam itu kembali menuntutku dan aku pun berlalu untuk bersembunyi di dalam kamar mandi sambil berusaha menutupi wajah ku yang kacau. Sialan, pagi-pagi aku sudah dibuat baper begini. Jangan bersikap konyol Tari! Jaga wibawamu, bagaimana pun juga dia bawahanmu! Air yang mengalir dari shower membuatku sedikitnya berpikir jernih.

Dan aku diserang kembali dengan perasaan cemas. Bodohnya aku yang mandi tanpa membawa baju salin. Oh great, Tari! Sekarang bagaimana? Apa aku cukup berani keluar hanya mengenakan bathrobe? Karena tidak mungkin aku meminta Dito untuk mengambilkan baju ganti. Hii... membayangkannya saja membuatku ngeri. Namun aku tak punya pilihan lain dengan waktu yang mepet seperti ini, bisa-bisa aku terlambat masuk kerja. Jadinya, setelah memantapkan niat dan membuang segala rasa malu aku pun keluar hanya mengenakan bathrobe.

It's Starts From Fortune Cookies [Completed]Where stories live. Discover now