22. Badai Menerpa

506 65 2
                                    

--Follow penulisnya, votement ceritanya

.
.
.

Adakalanya manusia sering menyesali apa yang telah diperbuatnya di masa lalu, terlalu sering malah. Dan salah satu dari sekian banyaknya 'sering' itu menimpaku saat ini. Sudah dua hari Dito mendiamkanku, benar-benar menghindariku. Jangankan ada jemputan manis di pagi yang lesu pun ucapan selamat tidur tak kunjung datang meski aku menunggu hingga larut. Dan aku mencapai titik terendah pada hari ketiga acara marahan sepihak ini.

Aku mengangkat kepalaku saat melihat pergerakan dari Dito. Seperti kebiasaannya, ia akan mengisi ulang cangkir kopinya sekitar jam 10 --kadang lebih atau kurang, entah ia menyadarinya atau tidak. Yang jelas saat Dito telah berlalu, aku bersiap untuk melancarkan aksiku.

Berjalan dengan sok tenang, aku mengawasi pegawai lain yang masih anteng menekuni pekerjaan masing-masing. Syukurlah tidak ada tanda-tanda mereka akan beranjak menuju pantry.

Saat aku membuka pintu pantry, ku lihat gerakan Dito yang sedang mengaduk kopi itu terhenti selama satu detik, sebelum ia kembali fokus pada putaran sendok yang lambat itu. Dengan berani --agak sembrono sih, aku mengunci pintu dan sedikit menurunkan tirai. Jangan pikir aku akan berbuat macam-macam pada Dito.

"Dito, mau sampai kapan kamu marah begini?"

"Memangnya saya lagi marah gitu?" timpalnya, dengan nada dingin yang menjengkelkan.

"Jangan bercanda, Dito. Kalau saya ada salah ngomong, jangan diem dan ngehindarin saya begini."

"Itu. Salah satu kesalahan kamu." katanya, masih enggan berbalik.

"Salah apa?"

Mungkin Dito lama-lama juga jengkel, ia pun berbalik dengan tangan bersilang di depan dada. Wajahnya sok tenang, meski aku tahu ia ingin menampilkan ekspresi merajuk khas bocahnya. "Mau sampai kapan 'saya-saya' an terus?"

Aku tak tahan untuk membuang muka dengan disertai helaan nafas berat, "Masa hanya begini kamu--"

"Itu salah satu bentuk ketidakpercayaan Miss." Ia mulai memanggilku begitu, permasalahan semakin keruh.

"Kalau kamu cemburu karena saya hanya bersikap sopan pada pak Bima, itu juga menunjukan kalau kamu sendiri sama tidak percaya-nya pada saya!"

"Kamu gak tahu seberapa takutnya aku kehilangan kamu, pernah mikir kesana gak sih?!"

Alisku menukik tajam, "Kok nada suara kamu kayak sedang merendahkan saya? Saya juga punya otak untuk berpikir, ada hati juga yang berusaha untuk menghargai kamu. Kamu menilai saya begitu rendah, Dito!"

Dito tersentak dengan luapan emosiku, peduli amat dengan orang-orang yang mungkin mulai curiga dan mendengar perdebatan kami. Yang jelas, aku hanya ingin menemukan titik penyelesaian untuk mengakhiri roman picisan yang konyol dan tak pernah kusangka akan mengalaminya juga.

"Ta-tari... bukan maksudku--" Tangannya berusaha menggapaiku namun aku mengkeret, menjauhi dia yang telah menghinaku.

"Don't be-- maafin aku, aku... aku hanya--"

"Berhenti Dito. Kamu terlalu jauh menyakiti saya."

"Iya, aku tahu aku menyakitimu terlalu banyak. Makanya aku di sini, berusaha untuk menyelesaikannya." Kali ini Dito lebih berani dengan mencengkram pergelangan tanganku.

Sontak aku menepisnya dengan wajah memerah padam. "Apaan sih Dito!"

Dengan keras kepala, Dito tetap meraih tanganku dan meletakannya tepat di atas dadanya.

It's Starts From Fortune Cookies [Completed]Onde as histórias ganham vida. Descobre agora