19. Aku Memilih Dia

737 80 15
                                    

--Follow penulisnya, votement ceritanya

.

Jadinya, setelah pulang kantor aku tidak berlari bergegas menuju ruangan pak Bima ataupun nangkring manis di atas jok motor Dito. Yang kulakukan adalah pulang lebih cepat seperti seorang pecundang dan lebih memilih berboncengan bersama bapak driver ojek online.

Saat pulang tadi, keringat dingin tak henti mengucur saat aku melintasi meja Dito dengan dia yang sama sekali tidak memperdulikan aku. Pikirnya, mungkin alasan aku tergesa-gesa karena akan pergi menuju pak Bima. Terserahlah dengan segala tuduhannya. Yang jelas, aku butuh waktu untuk memikirkan dengan cermat pilihan yang ada.

Dan saat ini, aku malah duduk bersimpuh termenung di balkon apartemen dan menyaksikan langit yang gelap tanpa setitik bintang pun. Pemandangan ini benar-benar merepresentasikan bagaimana keadaan hatiku. Lupus sudah tertidur pulas dan aku tidak bisa curhat padanya. Mood menerjemahkan pun ikut lenyap entah kemana. Otakku terlalu semerawut hingga tidak ada satupun kegiatan favoritku yang bisa mengalihkan pikiran.

Berulangkali dewi batinku memukul kepalaku dengan pertanyaan, 'sudah siapkah aku 'tuk jatuh cinta?' yang semakin menambah semarak paranoid. Aku saja tidak tahu cinta itu apa --belum dan bagaimana harus menjawabnya? Hanya saja... terkadang ada rasa tak ingin membuat 'nya' bersedih dan terluka lebih banyak lagi karena aku. Rasanya dengan melihat senyum dan tawa riangnya membuat sudut-sudut hatiku yang tak terjamah mulai menghangat dengan cara yang unik dan membuatku berdebar. Aku tahu ini terdengar konyol, tapi cobalah berada di posisiku dan kalian akan tahu bagaimana rasanya.

Tapi... bagaimana dengan 'dia' yang terlalu banyak menelan pil PHP dariku? Apa aku akan cukup sadis untuk mengatakan padanya kalau kami tidak bisa bersatu? Lelaki rapuh dan kesepian itu akan terluka cukup banyak, dan benar apa kata bu Asri aku ini wanita jahat. Aku tidak bisa meminta 'dia' untuk tetap tinggal di sisiku meski hatiku berkiblat ke arah lain. Itu tindakan bodoh yang menyakitkan.

Meski sudah ada satu nama yang sering berdengung di telingaku, nyatanya aku masih meragu saat akan menekan dua nomor teratas yang berada dalam log panggilan. Dan ketika ku lontarkan kepala ke arah langit kosong, tiba-tiba sebuah bintang melintas disertai dengan wajah 'dia yang kupilih' ikut memenuhi mataku.

Segera saja ku-dial nomornya.

.
.
.

Aku terus meyakinkan hatiku, meminta akalku untuk berpegang teguh pada pilihan ini sambil berdiri di depan gerbang kos-kosan. Aku mencuri pandang isi di dalamnya lewat celah pagar hitam yang tinggi. Dan aku hampir melompat kaget --seperti maling yang ketahuan saat gerbang itu terbuka.

"Miss? Kenapa malem-malem kesini?!"

Penampakannya dengan boxer dan kaus kebesaran membuatku merasa gugup dan mengklasifikasikan betapa banyaknya perbedaan diantara kami, aku bahkan merasa seperti tante girang yang mengajak berondong untuk bermalam bersama.

"S-saya mengganggu tidak?" Lidahku mendadak kelu dengan tubuh menggigil.

Dito merubah raut terkejutnya dan kini wajahnya diliputi kecemasan, "Masuk dulu Miss."

"Nggak, gak enak sama pemilik kos. Saya berkunjung terlalu malam." Aku menggeleng cepat. Bayangkan saja, ini hampir jam 11 malam dan aku nekat keluar menemui Dito.

Dito nampak mengangguk paham. Tanpa seijin-ku, ia mendudukan-ku di kursi rotan di depan kamar nomor 12. Aku menatap lugu akan sikapnya. "Tunggu bentar." titahnya tanpa menjelaskan apapun. Rahangnya nampak mengatup rapat.

It's Starts From Fortune Cookies [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang