"Kompres?" gumamku, kemudian segera berlari menuju dapur, untuk mengambil es di dalam kulkas, serta kain bersih yang ada di rak kecil ruang televisi.

Setelah merasa bahan yang di perlukan sudah memenuhi, aku segera kembali ke atas, kemudian kukompres dahi Rei.

"Harusnya minum obat, tapi gimana caranya? Dia tidur," gumamku frustasi.

Karena merasa risih dengan wajah Rei yang masih penuh dengan riasan, aku pun berinisiatif untuk mengambil air dari kamar mandi, kemudian mengelap wajah Rei dengan kain bersih yang sudah kubasahi.

Ternyata, setelah cukup berusaha, hanya darah yang ada di wajah Rei hilang. Riasan biru yang sedikit ungu di tepi bibirnya, tidak hilang. Ha ... apa yang harus aku lakukan? Bagaimana jika ada orang yang melihat ini, kemudian berpikir, Rei korban KDRT dan sudah bisa ditebak siapa pelakunya, tentu saja aku yang akan menjadi tersangka utama. Oh, Tuhan! Kenapa riasan di wajah Rei lebih sulit dihilangkan? 

Aku pun akhirnya mengambil ponsel, berusaha mencari cara untuk membersihkan wajah Rei, tentu saja di saat seperti ini, internet sangat membantu. Aku benar-benar berterima kasih kepada teknologi yang sudah maju sekarang.

"Micellar water? Terus pake kapas?" gumamku bingung, setelah mendapat info dari benda pipih yang tengah kupegang ini.

"Di mana mau dicari oi, micellar atau apalah itu. Hujan-hujan gini lagi, bangke lah, bingung gue," ucapku frustasi dengan mengacak-acak rambut. Apa sebaiknya dibiarkan saja? Namun, miris sendiri melihat wajah Rei seperti ini.

Setelah berpikir keras cara membersihkan wajah Rei, akhirnya aku memutuskan untuk tidak menghilangkan riasannya lagi, karena itu pasti akan menganggu tidur Rei.

Aku mendekat ke arah Rei, meletakkan tangan di dahi mulusnya. Memastikan suhu tubuhnya sudah turun atau belum. Setelah aku pikir cukup membaik, aku berdiri dan berniat untuk pergi dari sana. Namun, baru saja kakiku hendak melangkah, Rei menarik pelan bajuku. Aku berbalik dan melihat Rei membuka sedikit matanya.

"Kenapa?" kataku, kemudian kembali meletakkan tangan Rei di atas kasur.

"Papa ...," lirihnya.

"Papa?" ucapku kebingungan. Sejak kapan aku menikahi Tante Mila? 

"Jangan tinggalin Rei ...."

Kali ini mata Rei kembali tertutup. Namun, terlihat jelas bibirnya seperti mengucapkan suatu kalimat. Meski tidak terdengar jelas, tapi cukup untuk membuatku melihat wajah gelisahnya. Aku kembali duduk dan mengenggam tangan mungil Rei, berharap dia akan tenang.

"Gak ada yang ninggalin Rei, jadi Rei tenang aja. Aku ada di sini," ucapku dan menyandarkan kepala di tepi kasur.

***
"Ge ...." Suara seseorang berhasil membuatku terbangun. Aku membuka mata dan melihat Rei sudah duduk di atas tempat tidur, memandangiku yang masih berwajah kusut saat ini.

"Rei udah sembuh?" tanyaku dan mengangkat kepala.

"Hm, mendingan," jawabnya.

"Baguslah," kataku dan tersenyum lebar.

Terlihat Rei memalingkan wajahnya mengarah ke jendela, aku tidak mengerti dengan sikap Rei kali ini, apa ada yang salah dengan wajahku? Ah, ya! Tentu saja, Rei pasti merasa jijik melihat wajah berantakanku ini.

"Tangan," ucapnya pelan, tapi masih bisa aku dengar.

"Hm?"

"Tangan masih dipegang." Ucapan Rei membuatku tersipu malu, sekaligus menarik dengan cepat tanganku, agar segera melepas genggaman dari Rei.

"Maaf," ucapku.

"Hm."

"Rei lapar? Biar aku buatin bubur buat makan malam," tawarku, setelah sadar ketika jam menunjukkan pukul 6.

"Boleh," jawab Rei dan melihat ke arahku lagi.

"Kalo gitu tunggu sebentar, ya? Aku buat dulu, terus nanti bisa langsung minum obatnya. Oya! Tante juga bilang buat jangan lupa minum vitamin. Lain kali, Rei juga jangan lupa bawa payung lagi, soalnya badan Rei gak tahan dingin dan gampang flu, jadi harus antisipasi sebel—"

"Iya, bawel," ucap Rei memotong kalimatku, kemudian tersenyum tipis.

"Hehe, jadi banyak omong, ya? Kalo gitu aku masak dulu buburnya, bye bye," balasku dan segera berlari ke luar kamar.

Sepanjang di perjalanan menuju dapur, aku masih memikirkan apa yang baru terjadi beberapa detik lalu. Rei tersenyum? Sebuah kejadian yang sangat langka dalam hidupku. Namun, rasanya seperti berbeda, di dalam diriku merasakan sesuatu yang asing, aku tidak tau apa. Detak jantungku lagi-lagi lebih cepat, apa karena terlalu sering berjaga sampai larut bisa seperti ini? Pikirku bingung.






U R My ...? [Terbit✓]Where stories live. Discover now