22.At The Point of Breaking

4.8K 777 124
                                    

"These Battle scars
Don't look like they're fading
Don't look like they're ever going away
They ain't never gonna change"

-Battle Scars by Lupe Fiasco & Guy sebastian-

****************

Tubuh Angkasa masih terasa begitu lemas setelah mendengarkan penjelasan dari dokter. Laki laki berjas putih itu sempat menanyakan apakah Samudra memiliki wali yang lebih dewasa daripada dirinya, dan dengan yakin tanpa perhitungan, Angkasa menjawab tidak.

Sejak perpisahan itu memang hanya ada dirinya dan Samudra. Mereka hanya memiliki satu sama lain dan sudah seharusnya saling menjaga.

Perkataan dokter itu masih membayang dalam kepalanya, tentang Samudra yang overdosis ringan obat penenang. Tentang adiknya yang ternyata sudah mengonsumsi obat penenang dan obat tidur sedari lama tanpa pernah ia ketahui.

Tentang adiknya yang merasa tertekan tanpa siapapun sadari. Bukan hanya fisiknya yang terluka. Tapi juga mental anak itu. Samudra mengalami depresi sedang yang jika dibiarkan akan sampai pada tahap depresi berat.

Si sulung itu mengusap wajahnya kasar kemudian melangkah menuju IGD. Langkahnya terhenti tepat di ambang pintu yang sudah terbuka. Berkali kali Angkasa harus meyakinkan dirinya, bahwa ia tak boleh merasa takut tanpa alasan.

Benar, ia mungkin menjadi sumber banyak kesakitan yang di alami Samudra. Tapi ia pasti bisa menyembuhkannya, ia tak boleh lari. Ia tak boleh pergi kemanapun meskipun Samudra memintanya, ia harus tetap berada di sisi adiknya itu apapun yang terjadi.

Karena Samudra adalah dunianya, dan ia tak akan pernah membiarkan anak itu lebih terluka lagi.

Angkasa mendudukkan diri di dekat Samudra yang masih damai dalam pejamnya. Raut wajah polos adiknya itu selalu bisa menciptakan rasa sesak tersendiri yang tak pernah bisa Angkasa jelaskan.

Melihat luka luka di wajahnya, rona pucat yang tampak begitu nyata selalu memukul telak seluruh tubuh Angkasa. Membuat sendi sendinya melemas tak berdaya.

Angkasa tersenyum kecil, meraih jemari Samudra yang terbebas dari infus kemudian merematnya erat. Jemari mungil itu masih terasa dingin meskipun tak sebeku saat Angkasa pertama kali menemukannya.

Jemari panjang Angkasa mengusap jemari Samudra yang terluka. Terlihat sudah diobati, tapi Angkasa takut jika adiknya itu masih merasakan sakit.

"Dra, jangan takut ya. Pas lo buka mata nanti, ada gue disini. Nggak ada satupun orang yang bisa nyakitin lo lagi. Jadi jangan takut buat bangun."

Angkasa bangkit saat dokter dan suster datang untuk memindahkan adiknya itu ke ruang rawat. Jemarinya tak pernah melepaskan Samudra barang sedikit pun karena ia takut Samudra akan merasa sendirian.

Berkali kali Angkasa mengusa surai hitam Samudra dengan perlahan, kebiasaan yang dulu selalu ia lakukan dan tentu saja disukai oleh anak itu. Namun seiring dengan waktu berjalan, Samudra memilih menjauh darinya. Dan ia bahkan terlalu sibuk dengan tuntutan kedua orang tuanya tanpa memiliki waktu untuk peduli.

"Dra, inget nggak? Lo pernah janji bakal selalu ikutin gue, kemanapun gue pergi. Gue dulu marah marah sama lo, tanpa tau kalau hubungan kita kedepannya bakal jadi kayak gini."

Samudra Sang Angkasa [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang